Find Us On Social Media :

Jalan Damai Anak-anak Korban Tragedi Berdarah September 1965

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 27 September 2024 | 10:05 WIB

Salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Peristiwa itu menyisakan trauma tersendiri di benak anak-anak tokoh yang terkait dengan peristiwa itu. Meski begitu, kini mereka sudah berdamai.

Sikap tidak ingin meratapi nasib itulah yang selalu dibawa Sugiarto hingga kini. Bahkan ketika kesulitan demi kesulitan terus menimpa keluarganya, sebagai anak yang sudah beranjak dewasa ia berusaha bertahan. Semua karena ibunya, Triswati, yang selalu bersikap tabah menghadapi kenyataan ini.

"Terima semua ini sebagai takdir," begitu selalu pesan janda Supardjo kepada anak-anaknya. Sebagai istri tentara, ia sudah terbiasa hidup sendiri tanpa suami. Di sinilah Sugiarto mengagumi kekuatan perempuan dibandingkan dengan lelaki.

Kesulitan yang harus dihadapi Sugiarto sebenarnya tak kalah hebat. Titel dokter gigi yang diperolehnya dengan susah payah tidak bisa dimanfaatkan karena terbentur Surat Keputusan (Instruksi) Menteri Dalam Negeri nomor 32 tahun (1981). Peraturan yang masih berlaku sampai sekarang itu intinya melarang keluarga tahanan politik menjadi pegawai negeri. Tapi lagi-lagi ia tidak mempersoalkannya.

Keengganan Sugiarto mengungkit masa lalu karena orang yang marah atau benci kebanyakan justru adalah mereka yang tidak mengerti permasalahan sebenarnya. Apalagi masih ada orang-orang yang bersikap baik kepada keluarganya meski kedudukannya berseberangan.

Mereka adalah rekan-rekan ayahnya semasa di militer, seperti Ibrahim Adjie, HR Dharsono (aim.), atau keluarga Ibnu Sutowo. "Saat itu mana ada yang berani dekat-dekat dengan keluarga tahanan politik. Takut dianggap berkomplot dan ujung-ujungnya diinterogasi," kata Sugiarto yang berusia 15 tahun saat peristiwa G30S pecah.

Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi dan salah satu sahabat ayahnya, selalu menolong di saat kesulitan-kesulitan datang tiada henti. Satu tindakan paling berani adalah memberikan uang pensiunnya kepada janda Supardjo, yang masih harus menghidupi 12 putra-putrinya. Ia juga menikahkan salah seorang putranya dengan salah seorang putri Supardjo.

Karena kegundahannya, suatu kali Sugiarto pernah bertanya kepada Ibrahim, yang dipanggilnya Papi, "Pap, apa ayah saya bersalah?" Yang ditanya menggeleng. "Tidak, dia seorang professional army. Dia hanya melaksanakan tugas," kata Ibrahim tegas. Sebuah jawaban yang benar-benar melegakan Sugiarto.

Wanginya dari bapak

Meski harus menanggung derita akibat posisi politik ayahnya, tak ada sedikit pun di benak Amelia, Ilham, maupun Sugiarto untuk menyesalinya. Mereka justru bangga, orangtuanya telah berbuat sesuatu untuk negeri ini dengan caranya masing-masing. Jikapun ada perasaan berat saat menjalani kehidupan selanjutnya, itu belumlah seberapa dibanding risiko yang harus ditanggung ayah mereka.

Amelia selalu mengenang sosok ayahnya sebagai pria tampan dan gagah, terutama saat berseragam militer. Sikapnya tegas namun tetap sayang dan perhatian kepada tujuh anaknya.

Kekagumannya bahkan membuat ia dan saudara-saudara perempuannya berkeinginan bersuamikan seorang perwira milker, walau tidak kesampaian. Kesan yang mendalam itu diwujudkan dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI yang ditulisnya selama dua tahun, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (1988).

Karena begitu sibuk, Achmad Yani memang jarang memiliki waktu khusus bagi keluarga. Hanya saja Amelia ingat, siang hari menjelang peristiwa penculikan, ayahnya sempat meminta anak-anaknya untuk datang pada peringatan hari ABRI 5 Oktober di Istana Negara. Hari itu anak-anak boleh membolos sekolah. Dalam bahasa Jawa berlogat Purworejo, Yani berkata, "Semua nanti ikut Bapak ke Istana, melihat pawai, ada paduan suara."