Find Us On Social Media :

Jalan Damai Anak-anak Korban Tragedi Berdarah September 1965

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 27 September 2024 | 10:05 WIB

Salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Peristiwa itu menyisakan trauma tersendiri di benak anak-anak tokoh yang terkait dengan peristiwa itu. Meski begitu, kini mereka sudah berdamai.

Seiring bergulir waktu dan kedewasaannya, barulah Amelia menyadari bahwa ia sebenarnya tidak sendirian. Selain keluarga Pahlawan Revolusi, pada posisi berseberangan, jutaan anak-anak lain juga merasakan duka yang sama.

Orangtua atau sanak saudara mereka menghilang karena dipenjarakan atau bahkan dibunuh tanpa alasan jelas. "Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Rasa kehilangan itu pastilah sama, tapi mereka pastinya lebih berat," kata Amelia berempati.

Ilham Aidit adalah satu kisah lain dari Amelia. Putra keempat tokoh PKI, DN Aidit, belum lagi berusia tujuh tahun saat keluarganya tercerai berai. Ayahnya tewas tertembak, sedangkan ibunya ditahan. Dua kakaknya sedang bersekolah di Rusia dan tidak pernah bisa pulang.

Dia bersama salah satu kakak dan saudara kembarnya, Irfan, dititipkan pada keluarga Yohanes Mulyono di Bandung, yang masih terhitung paman jauhnya. Keluarga itu pula yang kemudian mengasuhnya hingga besar.

Menurut pengakuan Ilham, suatu hari sekelompok tentara bersenjata lengkap pernah mendatanginya. Ilham yang sedang asyik bermain kelereng tidak terlalu mengacuhkan. Tentara-tentara itu cuma berbisik-bisik dengan pamannya lalu tak lama kemudian pergi. Belakangan hari barulah Ilham mengetahui, mereka sebenarnya berniat menghabisinya.

"Dikiranya saya sudah besar. Kalau umur saya sudah belasan tahun saja, mungkin ceritanya lain," tutur pria yang masih menjaga jarak dengan publikasi media ini.

Sebagai anak kandung tokoh politik nasional yang dicap berkhianat, tentu bisa dibayangkan kesulitan yang harus ditanggung Ilham. Yang paling berat dirasakan adalah cemoohan masyarakat tentang ayahnya.

Cap "PKI" - sebuah kata yang berkonotasi hina hingga sekarang - seperti tertulis besar di dahinya. Merasa tak tahan, tak jarang ejekan-ejekan itu harus diakhiri dengan adu jotos demi membela nama sang ayah. Karena tubuh Ilham termasuk kecil, kalah dan babak belur sudah jadi risiko biasa.

"Sampai suatu saat sewaktu saya SMA di Jakarta, saya disadarkan Pastor Brouwer. Dia bilang, 'Kalau kamu terus berkelahi, energimu akan habis di situ. Kamu tidak bisa menyelesaikan sekolahmu". Dari situ saya sadar dan berhenti," tutur

Ilham yang akhirnya dapat menyandang gelar insinyur dari Universitas Katolik Parahyangan. Pekerjaan yang kini digelutinya di Bali juga masih berhubungan dengan pendidikannya.

Tekanan masyarakat juga dirasakan Sugiarto, putra ketiga Brigadir Jenderal Supardjo, salah satu petinggi militer yang terlibat Dewan Revolusi. Ejekan dan cemoohan sempat jadi makanan sehari-hari selama kurang lebih setahun.

Satu bekas luka di punggung menjadi kenang-kenangan masa sulit itu. Luka itu didapat saat ia melindungi adiknya dari tombak waktu terjadi amuk massa. "Ah, tapi saya enggak mau cengeng cuma gara-gara itu," kata Sugiarto yang enggan bercerita lebih lanjut.