Find Us On Social Media :

Jalan Damai Anak-anak Korban Tragedi Berdarah September 1965

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 27 September 2024 | 10:05 WIB

Salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Peristiwa itu menyisakan trauma tersendiri di benak anak-anak tokoh yang terkait dengan peristiwa itu. Meski begitu, kini mereka sudah berdamai.

Pagi itu Amelia belum menyadari sepenuhnya yang tengah terjadi. Bunyi rentetan tembakan membangunkan tidurnya. Mata ayahnya yang telah terpejam saat terakhir kali dilihat. Suara derap sepatu lars dan deru kendaraan yang meninggalkan rumah mereka. Semua menjadi potongan-potongan kejadian yang menimbulkan satu pertanyaan besar di dalam benaknya: ada apa sebenarnya?

Kepastian nasib ayahnya didapat Amelia tiga hari kemudian.

Jasad Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, ditemukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.

Tidak sendirian

Seperti banyak dituliskan dalam literatur sejarah, peristiwa pembunuhan para jenderal memicu kekacauan di pelbagai daerah. Rakyat berduka, lalu marah. Darah tujuh Pahlawan Revolusi yang telah membasahi negeri ini seolah belum cukup.

Diyakini, nyawa ratusan ribu orang akhirnya harus melayang menjadi korban amuk massa. Jutaan orang lainnya harus menanggung luka yang dalam karena dipenjarakan atau kehilangan sanak saudaranya. Negeri ini benar-benar berada di titik nadir.

Tak terkecuali Amelia, yang kala itu berusia 16 tahun, termasuk dalam hitungan jutaan luka itu. Hari-hari yang kemudian dilaluinya, tidak bisa lepas dari derai air mata dan tekanan psikologis. Kesedihannya bukan hanya karena ia menyaksikan peristiwa keji itu secara langsung.

Selama beberapa waktu kemudian, ia selalu bisa merasakan bau kematian karena ia tetap tinggal di rumah di Jalan Lembang.

Jika hari telah gelap, Amelia merasakan rumahnya begitu sunyi mencekam. Sosok ayahnya yang berwibawa, kadang penuh canda, atau kali lain masih sibuk bekerja dengan stafnya hingga larut malam, mendadak hilang.

Taraf kehidupan keluarganya menurun drastis. Segala fasilitas ayahnya dicabut, sehingga harus hidup prihatin. Ia menepis anggapan bahwa keluarga Achmad Yani mendapat fasilitas dari keluarga Soeharto sehingga tetap dapat hidup enak. "Tidak. Ibu selalu menanamkan untuk tidak begini," kata Amelia dengan tangan menengadah.

Pukulan terberat dirasakan ibunya, Yayu Ruliah Sutodiwiryo, karena saat penculikan terjadi tidak berada di rumah akibat masalah rumah tangga. "Kalau sore, kami mencari di mana ibu. Sering kami jumpai beliau ada di ruangan tempat menggantung semua baju-baju bapak. Beliau sering menangis sambil memegangi baju bapak yang ada bekas darahnya!" kenang Amelia.

Akibat sering menyaksikan itu, Amelia harus berkonsultasi dengan psikiater dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat selama setahun.