Find Us On Social Media :

Walau Dicekal Orba Pasca-Tragedi 1965, Kaum Eksil Ini Tetap Cinta Indonesia

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 26 September 2024 | 12:21 WIB

Nasib Eksil Tragedis 1965 terlunta, disingkirkan Orde Baru dan tidak mudah dapat suaka dari negara lain. Meski begitu tetap cinta Indonesia

International Institute of Social History (IISH) di Amsterdam telah mengumpulkan bahan sejarah lisan dengan melakukan wawancara dengan 52 orang kiri korban peristiwa 65 yang bermukim di Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Tiongkok, dan Vietnam.

Rekaman sebanyak 200 kaset berdurasi masing-masing 1,5 jam itu tersedia di perpustakaan IISH Amsterdam berisi wawancara antara lain dengan Sidik Kertapati, pelukis Basuki Resobowo, sastrawan Sobron Aidit, dan A.M. Hanafi (mantan Dubes RI di Kuba).

Selain itu juga terdapat perpustakaan khusus penerbitan kiri yang mungkin tidak dijumpai lagi di Indonesia pada rumah Sarmadji Sutiyo (86 tahun) di Amsterdam, la juga dengan setia mencatat dan mengumpulkan data kematian para eksil itu sejak tahun 1968. Catatan ini hanya sebagai bukti bahwa mereka yang kini di luar negeri itu tinggal menunggu hari.

Tom Iljas yang bulan April 2010 terbang dari Stockholm ke Jakarta untuk mengikuti Kongres PRD di Salatiga sekaligus menghadiri ulang tahun ibunya yang ke-100 di Pesisir Selatan, Sumatra Barat menceritakan kepada saya bahwa kini komunitas survivor '65 di Swedia" mewajibkan diri mereka masing-masing untuk saling bertelepon minimal sekali dalam seminggu.

Pasalnya, seorang dari mereka, tinggal sendiri pada sebuah rumah dan pada musim salju meninggal tetapi baru ketahuan sebulan setelah berpulang.

Komunitas ini menghabiskan pensiun dengan menulis puisi dan prosa bahkan biografi/memoar seperti Oemar Said, Joseph Tugiyo Taher, Fransisca Fanggidaej, Sobron Aidit, Walujo Sejati (belum terbit), Asahan Aidit, Ali Chanafiah, Soemarsono, Ibrahim Isa (belum terbit). Mereka (seperti ChanCT, putra dari pendiri Baperki Siauw Giok Tjhan aim yang menulis dari Hongkong) aktif di beberapa milis di antaranya pada wahana-news.com,

Beberapa di antaranya mengelola kegiatan budaya "Pasar Malam" di Paris. Ada pula yang pada usia senja masih bertugas sebagai penjaga malam sebuah pabrik (seorang kakek yang saya temui di Belanda menceritakan bahwa tugasnya ringan tetapi membosankan, yaitu sepanjang malam memelototi layar televisi yang memancarkan rekaman CCTV).

Pada 17 Agustus sejak era reformasi, beberapa KBRI sudah membuka pintu bagi kaum eksil dan mengundang mereka berpartisipasi dalam perayaan. Selain itu pada hari peringatan sejarah seperti Kebangkitan Nasional, mereka melakukan acara diskusi. Panitia hanya menyewa gedung, sedangkan makanan yang disediakan harus dibeli oleh para peserta.

Komunitas eksil ini memiliki beberapa perkumpulan di antaranya Yayasan Sapu Lidi yang didirikan Mintardjo (ayahnya menjadi residen tatkala meletus Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah pascaproklamasi) dan Marek Ave di Belanda. Secara rutin mereka melakukan diskusi di rumah Mintardjo di Leiden dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di sana atau para pengamat yang kebetulan singgah ke Eropa.

Acara itu "ramai dan enak" karena Pak Min terkenal dengan masakan sup buntutnya. Di Swedia kelompok yang semasa Orde Baru terhalang pulang ini membeli sebuah kebun buah-buahan, sambil memetiknya mereka bisa santai dengan keluarga pada masa liburan musim panas. Namun acara yang tidak dilewatkan mereka tentulah penghormatan terakhir kepada rekan yang mendahului, biasanya datang dari berbagai negara di Eropa ke rumah duka, tempat misa atau kremasi.