Find Us On Social Media :

Walau Dicekal Orba Pasca-Tragedi 1965, Kaum Eksil Ini Tetap Cinta Indonesia

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 26 September 2024 | 12:21 WIB

Nasib Eksil Tragedis 1965 terlunta, disingkirkan Orde Baru dan tidak mudah dapat suaka dari negara lain. Meski begitu tetap cinta Indonesia

Setelah memperoleh kewarganegaraan baru, mereka biasanya berganti nama seperti wartawan senior Oemar Said (82 tahun) pengelola situs wnarsaid.free.fr – yang memiliki nama Perancis Andr Aumars. Kebanyakan mereka yang pernah belajar di Cina juga memiliki nama samaran.

Pertemuan dengan keluarga biasanya terjadi setelah berpisah belasan atau puluhan tahun. Oemar Said meninggalkan putra bungsunya Budi pada usia setahun, baru berjumpa kembali 17 tahun kemudian di Paris tahun 1983.

Fransisca Fanggidaej (85 tahun), mantan anggota DPRGR, tokoh perempuan asal Pulau Rote yang mewakili Indonesia dalam Konferensi Pemuda Sedunia di Praha, New Delhi, dan Calcutta tahun 1947/1948, kini menetap di Zeist, setengah jam perjalanan dengan bus dari Utrecht. Dia baru bertemu anak-anaknya tahun 2003 di Jakarta setelah berpisah 38 tahun.

Ketika bermukim di Cina ia takut menghubungi keluarganya di Jakarta. Baru pada tahun 1985 pada usia 60 tahun ketika ia memperoleh suaka di Belanda yang pertama dilakukannya adalah menelepon anak-anaknya di tanah air.

Sepanjang tiga dekade pemerintahan Orde Baru mereka dicekal, setelah Soeharto jatuh, baru diperbolehkan pulang. Ketika Abdurrachman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, komunitas ini cukup mendapat perhatian. Presiden mengirim Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun tidak ada tindak lanjut yang signifikan.

Hampir seluruh masyarakat eksil ini sudah memiliki kewarganegaraan asing. Konsekuensinya mereka memperoleh jaminan sosial dan kesehatan yang memadai di negara tempat tinggal mereka, terutama di Eropa Barat dan Skandinavia. Bila mereka pada hari tua pindah kembali kewarganegaraan menjadi Indonesia, siapa yang menanggung biaya kesehatan mereka?

Yang mereka butuhkan sebetulnya adalah rehabilitasi nama baik. Selama ini mereka dicap sebagai pendukung percobaan kudeta Gerakan 30 September dan menolak kembali ke Jakarta setelah 1 Oktober 1965 dan oleh karena itu dicabut paspornya. Yang mereka harapkan adalah pengakuan resmi dan pernyataan maaf pemerintah tentang kesalahan rezim yang lalu.

Ali Chanafiah adalah salah seorang Duta Besar yang tinggal di luar Indonesia sejak tahun 1965. Ia terpaksa hijrah ke negeri dingin dan berpenduduk jarang di kawasan yang semakin mengarah menuju Kutub Utara. Perang Dingin dan pilihan politik telah menyebabkan pasangan Ali dan Salmiah, pendidik Taman Siswa, ini merantau jauh dari tanah air. Dan ini berlangsung puluhan tahun pula.

Perjalanan panjang itu tak hanya dalam artian wilayah tetapi juga waktu. Ali Chanafiah meninggal di Jakarta 30 Maret 2007 menyusul istrinya yang telah berpulang 23 Oktober 2002 dan dimakamkan di Bogor.

"Saya ingin mati di Indonesia dan dikuburkan di sebelah makam istri saya," pesan Ali Chanafiah. Mungkin pada akhir hayatnya mereka masih memiliki paspor asing, tetapi jiwa mereka pastilah tetap Indonesia. Kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak larut oleh ruang dan waktu setelah menempuh perjalanan jauh, teramat jauh.

Keinginan yang sama diutarakan oleh Soemarsono (89 tahun), pemuda pejuang di Surabaya tahun 1945 serta mantan gubernur militer di Madiun tahun 1948 yang berstatus warga negara Australia dan kini hidup antara Jakarta dan Sidney. Putrinya mengatakan bahwa ayahnya masih ingin mengurus kewarganegaraan Indonesia dan bila meninggal dimakamkan di tanah air.

Menunggu hari