Find Us On Social Media :

Walau Dicekal Orba Pasca-Tragedi 1965, Kaum Eksil Ini Tetap Cinta Indonesia

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 26 September 2024 | 12:21 WIB

Nasib Eksil Tragedis 1965 terlunta, disingkirkan Orde Baru dan tidak mudah dapat suaka dari negara lain. Meski begitu tetap cinta Indonesia

Dalam buku Perjalanan Jauh (Bandung: Ultimus, 2010) tergambar kisah kehidupan Ali Chanafiah-Salmiah Pane, sepasang suami-istri yang menjadi murid langsung Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa.

Sejak 1964 Ali Chanafiah bertugas sebagai Duta Besar di Srilangka. Namun pecahnya G30S menyebabkan keadaan berubah. November 1965 dia pulang ke Jakarta dan dengan perantaraan Joop Ave bertemu dengan Mayor Jenderal Soeharto di markas Kostrad.

Soeharto yang menerimanya dengan santai dalam pakaian piyama menyerahkan fotokopi Pancasila kepada Ali Chanafiah, entah apa maksudnya.

Bulan Mei 1966 Ali dipanggil Menteri Luar Negeri Adam Malik ke Jakarta dan diminta untuk menulis surat pengunduran diri. Karena keadaan di Indonesia sudah tidak aman, sekembalinya di Colombo, Ali Chanafiah meminta suaka kepada Uni Soviet. Caranya bagaikan cerita detektif.

Di suatu pameran ia bertemu Dubes Uni Soviet untuk Srilangka. Ali menanyakan apakah sang Dubes Uni Soviet itu sudah membaca majalah Times karena ada artikel menarik di dalamnya. Sang Dubes menjawab belum dan ia ingin meminjam majalah tersebut.

Di dalam majalah itu terdapat surat suaka yang ditulis Ali dengan tulisan tangan.

Kopor-kopor keluarga Ali dikirim dulu ke Kedutaan Besar Kuba lalu dari sana dibawa ke Kedutaan Uni Soviet, selanjutnya ke lapangan terbang. Ketika berangkat ke bandara, taksi yang mereka tumpangi pecah bannya dan seketika lewat mobil milik diplomat Rusia, sepertinya semua sudah diatur.

Ali kemudian mendapat suaka di Uni Soviet, namun ketika izin tinggalnya habis tahun 1983 ia mencoba pulang ke Indonesia. Namun ditolak sesampainya di Singapura. Ia kemudian memperoleh suaka dari Swedia dan menghabiskan hari tuanya di sana. Dengan paspor Swedia ia berkunjung ke Jakarta tahun 1994. Tahun 2002 ia memperoleh izin menetap lima tahun di Indonesia.

Perjalanan jauh

Tragedi nasional 1965 tidak saja menimpa masyarakat Indonesia di tanah air namun juga ribuan orang yang sedang studi atau menjalankan tugas diplomatik dan misi lainnya di luar negeri.

Sebanyak 570 orang di antaranya adalah mahasiswa ikatan dinas (Mahid) yang dikirim Bung Karno ke berbagai negara sahabat untuk belajar (Cina, Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur) sejalan dengan politik luar negeri Indonesia saat itu. Mereka dicabut paspornya dan dalam keadaan terpaksa menerima kewarganegaraan di tempat tinggal mereka atau pergi ke negeri lain.

Suaka politik itu diperoleh tidak dengan mudah, sebagian adalah mahasiswa yang belajar di Cina atau Vietnam yang harus berpindah-pindah dulu, seperti ke Uni Soviet atau Eropa Timur, lalu baru terakhir hijrah ke Eropa Barat.