Penulis
[ARSIP Intisari]
Penyanderaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)—ketika itu masih bernama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)—terhadap peneliti Tim Ekspedisi Lorentz '95 di Pegunungan Jayawijaya, sejak 8 Januari - 15 Mei 1996, berakhir dengan tewasnya Navy W. Th. Panekenan (29) dan Yosias Matheis Lasamahu (32). Sandera sempat berhubungan dengan ICRC. Apa yang dilakukan ICRC, sebelum akhirnya ABRI mengambil alih pembebasan dituturkan di bawah ini?
Penulis: Lily Wibisono, pertama tayang di Majalah Intisari edisi Juli 1996
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Entah apa maunya, tahu-tahu Desa Mapenduma diserbu gerombolan GPK. Selain anggota Ekspedisi Lorentz, 13 penduduk desa Kecamatan Tiom di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya, ikut disandera.
Mereka adalah Navy, Matheis, Jualita Tanasale (32), dan Adinda Arimbi Saraswati (26) dari peneliti BScC (Biological Science Club) Jakarta; Markus Warib (35) dari Uncen Jayapura; Annete van der Kolk (22), Anna McIvor (21), Daniel P. Start (21), William Oates (23), peneliti dari Universitas Cambridge, Inggris; Martha Klein dan Marco van der Wal dari Belanda.
Dari hari ke hari, sandera menghitung hidupnya dalam detik kecemasan, kepasrahan, dan harapan keselamatan. Penelitian data fauna-flora Irian Jaya, gabungan sarjana biologi Universitas Nasional dan Inggris itu, sudah berlangsung di sekitar daerah itu sejak awal November 1995. Tragisnya justru menjelang berakhirnya penelitian, pertengahan Januari 1996, mereka disergap GPK.
Sejak hari itu, berita penyanderaan mulai meluas baik di dalam maupun di luar negeri. Keluarga sandera dicekam rasa khawatir. Mereka tak tahu harus bagaimana selain hanya berdoa, seraya memikirkan nasib putra-putrinya di tengah hutan gunung dingin. Satu-satunya yang mereka harapkan, secepatnya ada tindakan penyelamatan atau pembebasan.
Tanggal 12 Januari, 9 penduduk desa dibebaskan. Kelly Kwalik sebagai pimpinan GPK, mengontak Uskup Jayapura Herman Munninghoff, agar mengirimkan makanan. Tanggal 15 Januari, peneliti WWF asal Jerman, Frank Momberg, dibebaskan sebagai juru runding (namun dia pulang ke Jerman).
Sehari kemudian Ola Wandikbo bersama bayinya dibebaskan. Pada 22 Januari, Yacobus Wandikbo dilepas menyusul istri dan anaknya.
Selama waktu-waktu itu, para rohaniawan terkemuka Irian Jaya – Uskup Munninghoff, Adrian van der Vijl, John M. Gobay, dan Paul Bourkat -- turun ke lapangan menjadi mediator. Berkat upaya ini, beberapa sandera di atas itu dibebaskan GPK. Namun misi penengah ini, tahu-tahu macet. Kelly Kwalik dan Daniel Kogoya, tak mau berjumpa dengan rombongan rohaniawan itu lagi.
Pertemuan bukan di lokasi
"Kami terlibat mulai tanggal 7 Februari. Keadaan sandera tidak diketahui, sebab sejak ditangkap belum pernah ditemui misi sebelumnya," ujar Henry Fournier, kepala delegasi regional Komite Internasional Palang Merah (ICRC) di Jakarta, seminggu setelah pembebasan sandera.
"Ini soal kemanusiaan. Pemerintah RI setuju. Tugas ICRC untuk menyambung hubungan yang putus itu. Juga untuk menemui sandera."
Dari informasi Uskup Munninghoff, GPK mau ICRC menjadi penengah sanderanya. Secepatnya, para staf ICRC menuju Wamena dan Timika. Upaya pertamanya, menyebarkan pamflet ke lokasi yang terduga menjadi tempat penyanderaan, dari udara.
Isi pamflet ini sederhana. ICRC memahami masalah penyanderaan ini, serta ingin jumpa Kelly Kwalik. "Penyebaran itu dalam radius sekitar 50 km, mencapai 15-20 desa. Pekerjaan ini dilakukan 4-5 hari," tutur Fournier.
Tak sampai seminggu, muncul kurir GPK membawa jawaban. ICRC disuruh ke suatu lokasi bemama Geselema, beberapa hari lagi. Di sana ICRC bertemu dengan salah pemimpin GPK, Daniel Kogoya. Pada 20 Februari, ICRC bertemu Kelly Kwalik, pimpinan GPK penyandera. "Setiap kemajuan, kami laporkan kepada ABRI, wakil pemerintah Inggris, dan Belanda," tambah Fournier.
Akhir Februari, sebuah tim terdiri atas seorang dokter dan dua anggota ICRC, berhasil bertemu sandera. Pertemuan dengan sandera, bukan di lokasi penyekapan.
"Ada kesulitan teknis pendaratan helikopter. ICRC harus berjalan sekitar 20 menit, ke suatu tempat. Lalu sandera itu pun ke sana. Menurut informasi, sandera pun harus berjalan sekitar 2 jam," kata Fournier.
ICRC mendesak agar GPK membebaskan Martha Klein yang hamil tua, serta Adinda Saraswati. Namun permintaan ini ditolak. Katanya, pembebasan sandera bukan wewenangnya. Keputusan itu harus datang dari pimpinan GPK di Papua Nugini, Belanda, dan Australia.
ICRC memanfaatkan pertemuan itu untuk memeriksa kesehatan sandera, di samping memberi bekal makanan, pakaian, obat-obatan, termasuk surat sandera untuk keluarganya. GPK lalu melepaskan penginjil Zakeus Elopere pada tanggal 10 Maret..
"Sebetulnya kami mengusulkan agar ICRC dapat mengunjungi sandera, seminggu sekali. Tapi rupanya tak mungkin. Maka saat itu kami mementingkan menjadi penghubung dulu, mengantarkan titipan barang dan surat, untuk menunjang semangat sandera. Tindakan ini untuk membantu mereka bertahan meski dalam penderitaan," kata Fournier.
Jaminan tidak operasi militer
ICRC terus berusaha. Setelah mendiskusikan dengan wakil pemerintah, mereka menghubungi pimpinan GPK OPM di luar negeri. Fournier menemui Moses Werror di Papua Nugini. Rekannya di Jenewa, mendatangi Nicholas Jouwee dan Rum Korem tokoh GPK di Belanda. Sementara pimpinan GPK di Australia, Otto Ondawame, didatangi perwakilan ICRC dari Manila.
"Tanggal 10 Maret, kami memperoleh surat instruksi pembebasan sandera dari Werror. Seketika itu juga, ICRC menyampaikan surat tersebut ke hutan Geselema," ujar Fournier.
Konon setelah Kelly Kwalik dan GPK lainnya membaca surat itu, mereka puas dan menyetujui prinsip pembebasan saridera. "Cuma mereka butuh waktu untuk persiapan. Juga GPK itu perlu waktu untuk menjelaskan alasan pembebasan sandera kepada masyarakat di sana."
Masih dalam kontak GPK dan ICRC, mereka mengajukan tuntutan: ABRI tak boleh melakukan operasi militer. Masyarakat pedalaman itu dijamin tak menderita gangguan, apabila sandera dibebaskan. ICRC pun diminta harus mengunjungi mereka setelah sandera dibebaskan.
"Desa mereka terpencil. Mereka-butuh bantuan obat dan bahan makanan. Di samping jaminan keamanan," ucap Fournier. "Kami pun sudah menyampaikan rekaman dari militer kepada mereka: ABRI tak berniat mengadakan operasi militer bila GPK membebaskan sandera secara damai."
Abraham Wanggai, karyawan Kanwil Dephut Irja, tanggal 15 Maret dibebaskan.
Saat itu Fournier merasa, sesama GPK mulai terpecah dua. Sandera yang sudah berminggu-minggu hidup bersama penyanderanya itu memberi tahu, ada sebagian GPK tak mau melepaskannya.
"Namun sebagian besar mau membebaskan sandera. Kata mereka, bukankah kita sudah memperoleh semua tuntutan," katanya. "ICRC dengan tegas menyatakan kepada GPK, kami telah melaksanakan dan memberikan apa yang kalian minta surat pernyataan pembebasan sandera dari pimpinan kalian di luar negeri, jaminan keamanan, juga janji Palang Merah untuk tetap membantu. Jadi kalian harus mengerti dan memisahkan antara tuntutan politik tentang kemerdekaan dan pengakuan OPM, serta nasib sandera ini."
Tuntutan politik dan sandera
ICRC mengharap dengan surat dari pucuk pimpinan OPM di luar negeri, GPK pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Kogoya bisa mengerti dan menyadari kekeliruannya atas penyanderaan peneliti muda yang tak berdosa. Tuntutan kemerdekaan GPK itu keliru, sebab pimpinannya di luar negeri berjuang dengan cara lain.
"Surat itu menjelaskan bahwa menculik serta menyandera, sungguh suatu cara berjuang yang salah. Surat itu meminta agar sandera dibebaskan," tambah Fournier dalam bahasa Inggris berlogat Prancis.
Kontak ICRC dengan GPK sempat terputus agak lama. Selama awal minggu bulan April, pertemuan antara GPK dengan ICRC mulai tidak teratur. "Kami tak ketemu mereka secara teratur, karena kami tegaskan: Jika kalian sudah memutuskan soal pembebasan sandera, tolong beritahu ICRC. Kami akan datang seminggu sekali, untuk mengecek apakah ada pesan dari kalian," tegas Fournier.
Tanggal 20 April, Fournier memimpin rombongan kecil ICRC ke hutan Jayawijaya. "Kami berdiskusi soal pembebasan, namun Kelly Kwalik tak ada di situ. Mereka setuju, pimpinan GPK di luar negeri akan mengurusi soal tuntutan politiknya.
Mereka menyatakan siap membebaskan sandera. Namun pembebasan itu harus diatur sedemikian rupa, sehingga semua orang desa puas. Bahkan mereka menyatakan akan mencari lokasi untuk perayaan pembebasan," ungkapnya.
Fournier mengusulkan, bagaimana kalau pembebasan sandera diadakan tanggal 8 Mei nanti, bertepatan dengan Hari Palang Merah Sedunia. Berhubung pembebasan sandera ini atas dasar kemanusiaan, mengapa tidak memilih tanggal 8 Mei saja? Anggota GPK itu rupanya mengerti.
Mereka berbicara dalam bahasanya. Sepertinya, mereka bilang setuju dan menyatakan gagasan itu bagus sekali. Lalu mereka menghitung-hitung hari, apakah ada waktu untuk menghubungi semua desa di sekitarnya, juga untuk menghubungi beberapa orang tertentu.
GPK meminta ICRC datang lagi tanggal 1 Mei. Kepada Fournier mereka bilang pada hari itu akan memberikan kepastian. Prinsipnya no problem, namun GPK harus meninjau apakah cukup waktu, karena mereka harus mengumpulkan banyak orang.
Pada tanggal 1 Mei, ICRC datang dengan sebongkah harapan. Terjadilah percakapan antara wakil GPK dan ICRC. "Ya, kami setuju. Kami meminta bantuan ICRC untuk menyelenggarakan pesta adat ini," katanya.
Pesta adat itu penting sekali. Akhirnya Desa Geselema terpilih sebagai lokasi pesta. Tapi karena persediaan makanan di situ sedikit, ICRC diminta mengangkut bahan makanan dari luar. Namun makanan itu harus swadaya lokal, bukan sumbangan ICRC. Melihat kesungguhan niat GPK mau membebaskan sanderanya, tanggal 8 Mei, ICRC menyanggupi permintaan itu.
Pengkhianatan, ICRC mundur
Semua orang yang memahami budaya masyarakat Irian Jaya, tahu betapa pentingnya pesta adat. ICRC pun sadar, pesta besar berarti semua akan beres. GPK benar-benar mau membebaskan sandera.
Dua helikopter carteran dari MAP (Missionary Aviation Fellowship) dan Airfast, mengangkut bahan makanan seperti ubi, sayur mayur, dan lainnya, termasuk 10 ekor babi hidup. ICRC juga telah menjemput 18 orang kepala suku, serta beberapa orang desa sekitar Geselema.
Sejak pagi 8 Mei, keramaian pesta sudah terasa. Perwakilan ICRC dari masing-masing negara asal sandera: Indonesia, Belanda, dan Inggris hadir, untuk "menerima kembali anak-anaknya". Pesta ini memang serius.
Upacara berjalan sejak pukul 07.00 sampai 14.00 waktu setempat. Ke-11 sandera kelihatan-ceria. Inilah hari terakhir menjadi sandera, begitu pikir mereka. Tanggal itu sudah amat ditunggu bagi Dinda, Lita, Theis, dan Navy - setelah 4 bulan lebih menjadi tawanan GPK. Tinggal menunggu waktunya saja, ke-4 putra-putri Indonesia itu akan bebas dari penyanderaan rekan sebangsanya.
"Mungkin 400 atau 500 orang ada di pesta itu. Upacara dimulai dengan tarian. Setelah semua pihak hadir lengkap, termasuk sandera, babi disembelih. Mereka memanaskan batu, serta menyediakan lubang untuk "menanak" daging hewan dan sayuran. Penduduk desa berfoto dengan sandera, sambil mengucapkan kata perpisahan. Malah ada yang meminta jangan lupa mengirim, foto ke Geselema," kenang Fournier.
Setelah itu pimpinan GPK lokal, Kelly Kwalik, tampil berpidato. Namun yang membuat semua pihak terkaget-kaget adalah pernyataan Kelly di akhir pidatonya: Dia tak akan membebaskan sandera, bila pemerintah Indonesia, Inggris, dan Belanda, tak mengakui kemerdekaan negara Papua.
"Saya tak percaya. Perasaan saya hancur, kecewa, begitu pula orang lain. Ya, sandera itu semuanya kaget. Mereka tak percaya apa . yang mereka dengar. Bagaimana tidak? Para sandera sudah susah payah mempersiapkan pesta pelepasan. Mereka sudah berharap, supaya segera bebas dan keluar dari sana," kata Fournier.
Tak pelak suasana di lapangan pesta agak kacau. Setelah pidato Kwalik, pimpinan GPK lainnya kelihatan bingung dan saling bertanya. Salah satu di antara mereka berkata.
"Tidak! tidak begini. Kami sudah buat perjanjian. Kita sudah berpesta, sudah menyembelih babi. Bahkan sudah sama-sama menyantap makanan pesta itu. Kami akan bicara dengan Kelly Kwalik. Ini tidak baik," katanya.
Sementara hari menjelang senja, suasana makin tak menentu. GPK menyuruh ICR datang lagi esok hdri, untuk menjemput sandera. Nampaknya, di antara sesama GPK penculik itu terjadi perdebatan. ICRC memutuskan kembali ke pos, untuk membiarkan pihak GPK berdiskusi.
Hari Kamis 9 Mei, ICRC kembali lagi ke Geselema. Tujuannya mengajak Kwalik berbicara. Pimpinan GPK itu tetap mengulangi tuntutannya, malah meminta senjata api laras panjang.
"Kami sudah 3 bulan berusaha menjadi penengah misi kemanusiaan ini, tapi-di hari terakhir kami dikhianati. Kami ditipu. ICRC menyatakan tak sanggup lagi berdialog dengan GPK," kata Fournier menahan emosi.
"ICRC kemudian meminta izin mengirimkan dokter untuk memeriksa sandera. Soalnya kehamilan Klein makin besar. Juga ada beberapa. sandera sakit yang tak mungkin tinggal berlama-lama di hutan."
Empat hari setelah ICRC mundur, gerombolan pengacau itu disergap oleh satuan operasi khusus ABRI yang dipimpin oleh Dan Kopassus Brigjen Prabowo Subianto. Dalam sekejap, Rabu 15 Mei, 9 sandera dibebaskan. Beberapa anggota GPK tewas dan tertangkap. Sementara Navy dan Theis, meninggal tak tertolong.
Musibah ini, membuat banyak orang berduka. Fournier sebagai warga ICRC menganggap GPK itu sungguh naif. "Mereka kurang tahu apa yang mereka inginkan. Juga mereka tak tahu, bagaimana tata cara berhubungan dengan warga dunia luar."
Selain ikut sedih atas meninggalnya Navy dan Theis di lokasi, ICRC juga menyesal. "Kelompok penculik itu sudah kehilangan kesempatannya mendapat bantuan atau pertolongan warga luar Irian Jaya."
Yang telah terjadi, itulah sekelumit kejadiannya. Kisah perihal manusia yang ditawan sekelompok manusia tak dikenal, kemudian dibebaskan kelompok manusia lain. Sandera, penyandera, penengah, dan pembebas, semuanya manusia yang berbeda peranannya. Namun Navy dan Theis paling berbeda … mereka berpulang lebih dahulu.