Penulis
Wartawan Intisari merangkum bagaimana kondisi Jakarta pada hari-hari di sekitar 30 September 1965. Elite pesta-pesti, ekonomi hancur, dan lain sebagianya.
Penulis: SWD (inisial), untuk Majalah Intisari edisi September 1980
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - 30September 1965, malam berdarah yang akan mengubah jalannya sejarah dan nasib Bangsa dan Negara Indonesia secara drastis, tiada bedanya dengan malam lain. Tiada tanda-tanda bahwa malam itu akan membawa malapetaka yang hampir mengakibatkan kehancuran total.
John Hughes, wartawan Christian Science Monitor dalam bukunya The End of Sukarno (kemudian juga diterbitkan dengan judul Indonesia Upheaval) menuliskan kesan-kesannya sebagai berikut:
"Waktu panas hari telah surut, suatu senja berkabut biru meliputi Ibukota Indonesia dalam masa antara yang singkat tapi menyenangkan sebelum kekelamaan tropik tiba melanda. Bulan yang terbit setelah tibanya malam tampak penuh kedamaian, pucat dan purnama.
Manakala uap bensin siang hari itu menipis, udara malam mengantar dengan harum yang khas Indonesia, suatu paduan eksotik dari melati kamboja, dan asap rokok kretek, yang tembakaunya dicampur dengan irisan cengkeh.
Dalam cahaya terang benderang siang hari, Jakarta bukanlah salah satu kota Indonesia yang paling menarik. Pudar dan berdebu di bawah matahari khatulistiwa, kota itu terletak di dataran rendah yang berawa-rawa, suatu gerbang yang kurang bermutu untuk mengantar orang ke negeri hijau subur dengan keindahan yang mempesona.
Sewaktu Belanda menjajah Indonesia mereka mencoba membentuk ibukotanya menurut contoh sebuah kota kecil sejuk yang mereka tinggalkan di negerinya sendiri. Mereka menggali terus-terusan di jantung kota dan mengayominya dengan pohon.
Kemudian mereka membangun rumah-rumah kecil yang kokoh, rapi dan berjendela rapat menghadap terusan. Penghuninya bekerja keras dan setia untuk pemerintah dan kompeni atau perusahaan pelayaran yang berpusat di Amsterdam, Rotterdam dan Den Haag.
Untuk suatu waktu tertentu, dengan kerajinan Eropanya orang Belanda berhasil memberikan suatu suasana teratur yang dibuat-buat di Batavia. Tetapi sejak orang Indonesia membebaskan negaranya dari kekuasaan Belanda, semuanya dibiarkan terlantar, dengan perpaduan ketidakacuhan tropik yang ria, pengaruh cuaca dan kemerosotan ekonomi.
Dengan demikian terdapat suasana keusangan sekitar gedung-gedung yang tadinya indah. Taman-taman umum menjadi hutan kecil. Sementara terusan menjadi tempat mandi umum, lainnya menjadi comberan.
Presiden Soekarno, seorang berambisi tinggi dan seorang yang suka main-main dengan seni, seringkali meledak-ledak karena tidak sabar melihat beberapa segi kebutuhan ibukotanya. Dalam masa pemerintahannya yang sekitar dua puluh tahun itu ia berusaha memperbaiki wajah kota Jakarta. Tetapi hasilnya bersuasana setengah rampung, sebab Soekarno hanya tertarik kepada hal-hal yang spektakuler.
Dia tak tertarik atau tidak sabar dengan masalah-masalah terperinci membosankan daripada suatu rencana pembangunan jangka panjang yang mantap. Pilihannya jatuh kepada suatu deretan pembangunan spektakuler sekali jadi--gedung-gedung megah, monumen-monumen, istana-istana--dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dari ekonomi yang makin meluncur ke bawah.
Dengan demikian Jakarta memperoleh wajah yang tak beraturan dan terputus-putus. Suatu gedung pemerintah baru yang mengesankan dikelilingi oleh gubuk-gubuk dan dihubungkan dengan jalan gerobak yang penuh lubang.
Ada air mancur tetapi tiada trotoar untuk berjalan kaki. Yang membuat jengkel para pejabat ialah pemotret-pemotret Life dan Paris-Match selalu memotret gedung-gedung megah seperti Hotel Indonesia yang megah, yang dirancang untuk mengesankan tamu-tamu asing, dikelilingi oleh gubuk-gubuk reyot.
Dan patung-patung yang disenangi oleh Presiden, yang dengan gagahnya mematahkan belenggunya dan meneriakkan maut kepada imperialis di atas landasan beton mereka, semuanya dalam gaya realisme Soviet, dirasakan asing bagi orang Indonesia yang begitu berbudaya dan artistik.
Dengan turunnya senja kekerasan monumen-monumen dan Jakarta sendiri tampaknya memudar. Diterangi lampu sorot dalam kolam-kolamnya, patung-patung itu tampaknya menunjukkan garis-garis yang lebih lembut. Di sekitar air mancur, orang-orang berkumpul untuk menghirup sejuknya air yang berpancar ke udara.
Kota itu mulai membebaskan dirinya dari kemacetan lalu lintas seharian penuh. Menurut gubernur DKI, (waktu itu dr. Sumarno-red) delapan puluh persen bis kota tidak bisa berjalan karena kekurangan onderdil.
Yang masih berjalan merintih kepenuhan, suatu bukti kehebatan pabriknya dan kelihaian montir-montir Indonesia yang mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan sepotong kawat, tali atau potong-an-potongan kaleng.
Tetapi waktu malam tiba armada tambal sulam ini telah pulang ke pangkalannya sambil tersendat-sendat dan terbatuk-batuk, dipadati sampai ke langit-langitnya dengan pekerja-pekerja yang menjinjing kantong beras, suatu tambahan vital pada gajinya yang tak pernah cukup.
Lalu jalan-jalan dikuasai oleh pengemudi becak yang compang-camping, orang-orang yang kurus tetapi berotot keras yang menyusuri jalan-jalan dengan becaknya untuk membeli makan malamnya.
Kalau tukang becak membunyikan belnya yang berbunyi seperti gong kecil, dan pelita-pelita minyak tanah menyala di warung-warung tepi jalan di bawah pohon kacapiring (sic), Jakarta di waktu malam tampaknya agak tersentuh sedikit oleh pesona pulau Jawa, pulau yang aneh dan mistik, jantung kepulauan Indonesia yang panjangnya 4800 km itu."
Pesta di kedutaan
"Malam seperti itulah malam tanggal 30 September 1965, waktu kota itu memulai menjelang tanpa dugaan apa-apa."
Demikianlah seorang penulis asing memandang kota Jakarta. Kehidupan malam itu berjalan seperti biasa. Tiada ada seorang pun di luar komplotan yang merencanakan pengkhianatan itu menduga sesuatu.
Di kedutaan Selandia Baru diadakan suatu jamuan untuk para diplomat asing. Jamuan itu agak luar dari biasa, karena disertai dengan pertunjukan wayang kulit dengan gamelan lengkap, mulai dari pukul 19.30 sampai pagi. Kira-kira 75 orang menghadiri jamuan itu, termasuk dubes Amerika Serikat yang haru, Marshall Green.
Di kedutaan lain juga mengadakan pesta. Counsellor pada Kedubes Italia menikah dengan seorang sekretaris cantik dari Kedutaan Belanda. Beberapa orang diplomat menghadiri resepsi meriah ini, terutama yang berasal dari negara Barat. Resepsi ini dihadiri oleh Ratna Sari Dewi, salah seorang istri Bung Karno.
Dia datang agak terlambat, sekitar jam sembilan, sehingga upacara pemotongan kue pengantin mengalami kelambatan. Setelah itu banyak di antara tamu-tamu itu pergi ke Nirwana Supper Club di atap Hotel Indonesia. Juga Ratna Sari Dewi ikut serta ke sana.
Ketika itu,Hotel Indonesia merupakan satu-satunya hotel bertaraf internasional. Selesai dibangun dalam tahun 1962 dengan uang pampasari perang Jepang, hotel ini merupakan kebahggaan pemerintahan waktu itu. Di Nirwana Supper Club, satu-satunya kelab malam di Jakarta waktu itu, dipertunjukkan hiburan dengan artis-artis yang didatangkan dari luar negeri.
Saat itu artis tamu yang diiklankan di surat kabar adalah Silvia Nilsson, penyanyi lagu-lagu rakyat dari Swedia. Hanya orang-orang asing, diplomat-diplomat dan elite yang paling top masyarakat kita yang mampu menikmati hiburan di situ.
Antre beras
Sementara segelintir orang menikmati hiburan di tempat yang paling tinggi di Jakarta, kehidupan sehari-hari rakyat merana. Keadaan ekonomi makin bobrok. Keperluan hidup sehari-hari terus membubung karena inflasi merajalela.
Bagi rakyat biasa kenyataannya ialah bahwa harga-harga selain naik dari hari ke hari, minggu ke minggu. Yang paling parah ialah orang yang harus hidup dari gaji. Beras dan minyak tanah sukar didapat. Pemerintah membagikan kedua komoditi ini dengan harga resmi tetapi dalam jumlah kecil. Akibatnya di mana-mana terlihat rakyat antri beras atau minyak tanah.
Tanggal 30 September 1965 sebuah surat kabar ibukota memuat catatan harga keperluan sehari-hari yang didapat, dari pasaran beberapa hari sebelumnya. Catatan itu sebagai berikut:
Bicara tentang harga-harga, memang kurang relevan jika tidak dibandingkan dengan pendapatan orang. Seorang rekan yang waktu itu bekerja sebagai guru SD di Jakarta, di belakang Hotel Indonesia teringat bahwa gajinya Rp5000. Seorang doktorandus ekonomi yang bekerja di bagian pembukuan sebuah perusahaan ekspor impor lebih mujur. Gajinya Rp150.000.
Pesuruh dan tukang masak di perusahaan yang sama mendapat Rp20.000. Seorang wartawan sebuah majalah kecil mendapat Rp35.000. Sedangkan wartawan bujangan di majalah lebih besar mendapat Rp65.000.
Yang pasti tingkat gaji pada masa itu umumnya relatif lebih rendah dari sekarang. Bisa dibayangkan betapa mahalnya barang sepele seperti korek api yang harganya 75 perak dan sebatang sabun Rp550. Namun menurut doktorandus tadi bedanya dulu orang bisa "ngobjek" yang sekarang sulit dilakukan.
Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI inflasi tahun 1965 naik menjadi 600 persen. Tanggal 13 Desember 1965 mulai pukul 8 malam diberlakukan uang rupiah baru. Nilainya 1000:1 dengan uang lama.
Bertambah merosotnya perekonomian bukan saja sangat memusingkan ibu-ibu rumah tangga, tetapi seorang mahasiswa ekonomi pun tidak berdaya dibuatnya. Sampai-sampai ia putus asa dan mengirimkan surat kepada sebuah surat kabar yang terbit di Jakarta. Antaranya ia menulis, "agar redaksi menulis atau memberi pemandangan tentang perekonomian kita, dengan penjelasan-penjelasan kalau ada peraturan baru dan efeknya."
Dia minta agar surat kabar itu "memberikan penjelasan mengapa harga-harga selalu meningkat saja." Dia menambahkan: "Bagi saya sebagai mahasiswa fakultas ekonomi saja tidak tahu, tentunya bagi rakyat banyak juga demikian”. Redaksi koran itu tidak memberikan komentar apa-apa.
Sementara itu golongan yang hendak "mematangkan situasi" memanfaatkan kekacauan ekonomi itu untuk kepentingannya sendiri. Demonstrasi demi demonstrasi dilancarkan dengan alasan menuntut penurunan harga, ganyang kap-bir, (kapitalis birokrat) setan kota dan sebagainya.
Pada 30 September itu dimuat berita tentang demonstrasi yang dilakukan oleh 100 ribu orang yang menuntut pencoleng-pencoleng ekonomi. Berita itu terbaca sebagai berikut: "100.000 massa rakyat ibukota dengan dipelopori pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang tergabung dalam Front Pemuda, PPMI dan MMI yang diikuti pula oleh golongan buruh, tani, wanita, sarjana, seniman dan wartawan hari Rebo siang (tanggal 29-9-1965) mengadakan aksi tunjuk hidung terhadap setan kota, kapbir, pencoleng dan koruptor."
Mereka kemudian mengajukan daftar nama empat setan kota kepada Menteri/Jaksa Agung, Kastaf KOTRAR dan Menteri/Pangak.
Sementara itu dalam halaman yang sama Menperdag Brigjen M.Yusuf menyatakan bahwa masalah ekonomi tidak akan teratasi dengan tuduh-menuduh atau mencari kambing hitam. Dia memberi penjelasan bahwa ekonomi merupakan masalah multikompleks yang hanya dapat diatasi dengan menaikkan produksi.
Genjer-genjer
Sementara itu Toko Serba Ada Sarinah (salah satu proyek prestis pemerintah Orde Lama) pada tanggal itu juga memasang iklan berbentuk sajak:
Siapa bilang tanah kita kapur Indonesia negri yang suburBuktinya dari palawijaDi Toko Pangan Serba Ada
Agaknya maksudnya supaya didendangkan menurut irama lagu bersuka-ria "Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak kita dari Prambanan" lagu yang menjadi 'top hit tahun 1965. Siapa yang sering bertugas ke istana waktu itu tentunya tahu bahwa lagu itu sering mengiringi pesta-pesta lenso yang dihadiri menteri-menteri, diplomat-diplomat, bintang film, biduanita dan tokoh lain yang gemerlapan.
Memang meja-meja istana melimpah dengan segala macam hidangan yang enak-enak, sementara rakyat kekurangan bahan pangan dianjurkan untuk makan jagung. Sementara para pemimpin berpesta, tragedi nasional ada di ambang pintu.
Berbicara tentang lagu, yang sedang 'top' pada waktu itu, barangkali tidak ada yang menandingi lagu "Genjer-Genjer”. Semula lagu rakyat dari daerah Banyuwangi, kemudian diorbitkan oleh seorang anggota Lekra lalu menjadi semacam lagu kampanye golongan mereka. Tetapi kenyataannya adalah bahwa lagu itu digemari oleh hampir, segenap lapisan masyarakat.
Tetapi jelas bahwa lagu ini tidak akan muncul dalam banjir kaset "Nostalgia" sekarang ini. Sebab konon lagu ini pernah memegang peranan dalam tragedi pembunuhan para pahlawan Revolusi di Lubang Buaya sehingga tak lama setelah peristiwa Gestapu dilarang.
Hiburan umum sangat terbatas. Hiburan yang paling mudah terjangkau adalah film, relatif masih murah, sebab belum ada mode gala premiere, gedung mewah pakai AC, midnight show, dan sebagainya. Tapi film Amerika diboikot. Yang diputar di bioskop umumnya film blok Timur, RRC dan jarang sekali film Barat. Dari iklan-iklan diketahui bahwa saat itu sedang diputar film "Kanal" di Carya, film Polandia.
Megaria memutar film Man against Man, tidak jelas dari negara mana. Di bioskop Seno dipertunjukkan film De Overval(tidak jelas dan mana, hanya anehnya judulnya bahasa Belanda).
Pada 1 Oktober koran corong PKI Harian Rakyat memuat karikatur pada halaman pertama yang menggambarkan dua orang jenderal dicampakkan oleh seorang bertopi baja ke dalam lubang yang penuh dengan bambu runcing. Judul film De Overvaldicantumkan, tapi diganti menjadi "De Generaals Val" dan diberi terjemahan "Jatuhnya Jenderal-jenderal".
Dari beberapa puluh surat kabar yang terbit di Jakarta, koran-koran yang berafiliasi dengan PKI dan ormas-ormas pendukungnya dan berhaluan kiri lainnya jelas mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan pengkhianatan itu.
Setelah tanggal 1 Oktober semua surat kabar Ibukota dilarang terbit kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang langsung di bawah pengawasan Angkatan Bersenjata. Pada 6 Oktober, kecuali dua surat kabar tadi, 8 buah boleh muncul kembali, yakni Duta Masyarakat, Indonesian Herald, Jakarta Daily Mail, Kompas, Mercu Suar, Nusa Putera, Pelopor, dan Suara Islam.
Harian Sinar Harapan baru menyusul dua hari kemudian. Yang terkena larangan terbit seterusnya karena mendukung G-30-S ialah Harian Rakyat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Ibu Kota, Gelora Indonesia dan, dua koran berbahasa Cina Chang Ching Pao dan Hua Chi Pao.
Untuk tulisan ini dipergunakan bahan dari harian Kompas dan Sinar Harapan. Tetapi kami tidak berhasil menemukan kembali harian-harian lain, terutama yang terlibat, padahal itu merupakan dokumen sejarah. Beberapa instansi yang seharusnya menyimpannya, ternyata tidak mempunyainya.
Yang jelas kalau ada sarjana peneliti yang memerlukan suratkabar-suratkabar masa itu yang lengkap harus mencarinya di Cornell University. Sebab di situ koleksinya pasti lengkap. Seorang sarjana Amerika, Roger K. Paget, pernah menerbitkan daftar lengkap harian dan mingguan yang terbit di Jakarta antara 1965 sampai 1966 dalam jurnal Indonesia (Cornell) tahun 1967.
Kemudian dia mengadakan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam tesis Doktornya. Semua koran yang disebutkan dalam daftarnya ada di dalam koleksi Universitas Cornell. (Swd)