Kisah Presiden Soekarno Sakit Malaria Saat Bacakan Teks Proklamasi

Afif Khoirul M

Penulis

Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Cikini, Jakarta. Artikel ini menjelaskan mengapa proklamasi kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia dari berbagai aspek.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Embun pagi masih menempel di dedaunan, ketika mentari pagi mulai mengintip di ufuk timur Jakarta. Hari itu, 17 Agustus 1945, bukan sekadar hari Jumat biasa.

Di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, sejarah sedang ditulis dengan tinta emas. Namun, di balik gegap gempita proklamasi kemerdekaan yang akan dikumandangkan, ada sebuah kisah perjuangan yang tak banyak diketahui.

Kisah tentang seorang pemimpin yang berjuang melawan penyakit malaria, demi mewujudkan impian sebuah bangsa.

Presiden Soekarno, sang proklamator, bukanlah manusia super. Ia pun bisa jatuh sakit. Dan pada saat-saat genting menjelang proklamasi, malaria, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, merenggut vitalitasnya.

Demam tinggi, tubuh menggigil, dan rasa lelah yang teramat sangat, semua itu ia rasakan. Namun, semangatnya tak pernah padam.

Di tengah kondisi fisik yang melemah, Soekarno tetap teguh pada pendiriannya. Ia tahu, proklamasi kemerdekaan harus dikumandangkan, apa pun yang terjadi. Ia adalah simbol perjuangan bangsa, dan ia tak boleh mengecewakan rakyatnya.

Dengan bantuan dokter pribadinya, Soekarno berusaha memulihkan kondisinya. Ia meminum obat, beristirahat sejenak, dan berusaha mengumpulkan tenaga.

Di sisi lain, persiapan proklamasi terus dilakukan. Teks proklamasi disusun, bendera merah putih dijahit, dan undangan disebar. Semua dilakukan dengan penuh semangat, meski dibayangi kekhawatiran akan kondisi Soekarno.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Pukul 10 pagi, Soekarno, didampingi oleh Mohammad Hatta, keluar dari rumah menuju halaman depan. Ribuan rakyat telah berkumpul, menanti dengan penuh harap.

Soekarno, meski masih terlihat lemah, berdiri tegak di podium. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu dengan suara lantang, ia membacakan teks proklamasi:

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta.”

Kata-kata itu menggema di seluruh penjuru negeri. Bendera merah putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya dinyanyikan, dan sorak-sorai mengudara.

Indonesia telah merdeka! Di tengah kegembiraan itu, Soekarno tersenyum. Ia telah memenuhi janjinya. Ia telah memimpin bangsanya menuju kemerdekaan.

Kisah Soekarno yang sakit malaria saat membacakan teks proklamasi adalah bukti nyata tentang kekuatan semangat dan tekad. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mencapai tujuan mulia.

Ia adalah inspirasi bagi seluruh bangsa Indonesia, bahwa dengan semangat juang yang tinggi, kita bisa mengatasi segala rintangan.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah yang tak terlupakan. Ia adalah hasil perjuangan panjang seluruh bangsa Indonesia.

Dan di balik peristiwa bersejarah itu, ada kisah perjuangan seorang pemimpin yang tak kenal menyerah. Kisah Soekarno yang sakit malaria saat membacakan teks proklamasi akan selalu dikenang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Mentari pagi itu telah menjadi saksi bisu sebuah peristiwa agung. Dan di balik peristiwa itu, ada kisah perjuangan seorang pemimpin yang menginspirasi.

Kisah Soekarno yang sakit malaria saat membacakan teks proklamasi adalah pengingat bagi kita semua, bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus terus kita jaga dan perjuangkan.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait