Find Us On Social Media :

Catatan Intelijen Inggris dalam Pemusnahan Komunisme di Indonesia

By Afif Khoirul M, Jumat, 5 Juli 2024 | 15:15 WIB

Sebagian dari massa yang turut mengadakan demonstrasi gelombang ketiga menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya yang tersangkut dalam gerakan kontrarevolusi 30 September (G30S) di Jakarta, Kamis (14/10/1965). Artikel ini membahas cara menyikapi kontroversi seperti peristiwa G30S/PKI yang melibatka

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Tahun 1965, Ed Wynne, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris, tiba di Singapura untuk memimpin operasi rahasia. Tujuannya: menggulingkan Presiden Soekarno dan melemahkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Operasi ini didorong oleh ketakutan Inggris dan sekutunya terhadap komunisme di Indonesia, yang dipandang sebagai ancaman stabilitas regional.

Presiden Soekarno memimpin Indonesia dengan ideologi anti-kolonialisme dan Konfrontasi melawan Malaysia. PKI, dengan tiga juta anggotanya, menjadi kekuatan politik signifikan. Inggris melihat Soekarno dan PKI sebagai rintangan dan ingin mengakhiri Konfrontasi.

Pada September 1965, sebuah kelompok rahasia bernama Gerakan 30 September (G30S) melancarkan kudeta yang gagal melawan Soekarno. Meskipun PKI diduga terlibat, tidak ada bukti kuat yang menghubungkan Soekarno dengan rencana tersebut.

Inggris memanfaatkan situasi kacau ini untuk melancarkan operasi propaganda hitam. Ed Wynne dan timnya di Southeast Asia Monitoring Unit (SEAMU) menerbitkan buletin "Kenyataan 2" dalam bahasa Indonesia.

Buletin ini berisi propaganda anti-komunis yang menghasut kebencian terhadap PKI dan Soekarno.

Buletin "Kenyataan 2" disebarluaskan melalui berbagai cara, termasuk melalui kedutaan besar Inggris di Asia. Untuk menyembunyikan berita asal Inggris, berita tersebut dikirim ke Indonesia melalui kota-kota Asia seperti Hong Kong, Tokyo, dan Manila.

Dalam setahun, 28.000 buletin, yang ditulis dalam bahasa Indonesia disebut Kenjataan 2 (Kenyataan 2), dikirimkan dan sampai ke Menteri Pertahanan, jenderal, pers sayap kanan dan bahkan Presiden Soekarno.

Propaganda ini berhasil memicu kemarahan publik terhadap PKI dan melegitimasi tindakan represif terhadap mereka.

Operasi Inggris mendapat dukungan intelijen dari MI6 dan GCHQ (Badan Intelijen Sinyal Inggris).

GCHQ di Singapura berhasil menyadap komunikasi Indonesia, termasuk kode rahasia mereka, dan memberikan informasi berharga kepada Inggris.

Baca Juga: Flor de la Mar, Kapal Pengangkut Jarahan Portugis Tenggelam di Lepas Pantai Sumatera

Setelah kudeta G30S yang gagal, Norman Reddaway ditunjuk sebagai "koordinator perang politik" melawan Indonesia. Dia diberi anggaran besar dan diberitahu untuk "melakukan apa pun" untuk menyingkirkan Soekarno.

Inggris terpaksa menyediakan sumber daya militer dan intelijen dalam jumlah besar untuk membantu Malaysia melawan serangan Konfrontasi. Kebijakan Inggris adalah mengakhiri konflik, namun tujuan mereka tidak berhenti di situ.

Seperti sekutunya Amerika dan Australia, Inggris takut akan Indonesia yang komunis. PKI mempunyai tiga juta anggota dan berlokasi di dekat Tiongkok.

Di Washington, efek domino Indonesia terjun ke pihak komunis dipandang sebagai ancaman yang lebih besar dibandingkan kekalahan Vietnam Selatan. Ancaman tersebut akan berkurang jika Presiden Soekarno dan Menteri Luar Negeri Subandrio dicopot dari jabatannya dan pengaruh PKI di Indonesia berkurang.

Salah satu cara yang paling masuk akal adalah dengan menghasut tentara Indonesia untuk melawan komunisme

Reddaway bekerja sama dengan para jenderal Indonesia dan mengintensifkan operasi propaganda.

Sasaran penting dari buletin propaganda hitam adalah sebanyak mungkin pejabat di sistem pemerintahan, militer, dan lembaga sipil.

Propaganda Inggris berhasil memicu pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibunuh dalam periode brutal ini.

Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto pada Maret 1966, menandai berakhirnya era Sukarno dan dimulainya kediktatoran militer Soeharto selama 32 tahun.

Operasi rahasia Inggris di Indonesia merupakan contoh kelam intervensi asing dan propaganda hitam yang berujung pada tragedi kemanusiaan.

Pengungkapan peran Inggris dalam peristiwa ini menjadi pengingat penting akan bahaya manipulasi informasi dan intervensi politik dalam urusan internal negara lain.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---