Find Us On Social Media :

Sosok Penyumbang Emas di Monas: Kisah Patriotisme dan Tragedi Teuku Markam

By Afif Khoirul M, Jumat, 28 Juni 2024 | 16:45 WIB

Ilustrasi - Sosok Teuku Markam.

Intisari-online.com - Menjulang tinggi di tengah ibukota Jakarta, Monumen Nasional (Monas) menjadi ikonik sebagai simbol kemerdekaan dan semangat juang bangsa Indonesia. Di puncak Monas, terdapat lidah api emas yang berkilauan, melambangkan semangat rakyat Indonesia yang tak pernah padam.

Di balik kemegahan emas tersebut, terselip kisah inspiratif dan tragis seorang pengusaha kaya raya bernama Teuku Markam, sang penyumbang emas Monas.

Teuku Markam lahir di Panton Labu, Aceh, pada 12 Maret 1924. Lahir dari keluarga bangsawan, Teuku Markam dibesarkan dengan nilai-nilai patriotisme dan semangat untuk memajukan bangsanya. Sejak muda, ia menunjukkan jiwa wirausaha yang mumpuni, membangun bisnis perkebunan karet yang sukses.

Kekayaan yang diraihnya tak lantas membuatnya lupa daratan. Teuku Markam selalu tergerak untuk berkontribusi bagi kemajuan Indonesia, terutama setelah kemerdekaan.

Ketika Presiden Soekarno menggagas pembangunan Monas pada tahun 1955, Teuku Markam tanpa ragu menyatakan dukungannya. Ia terinspirasi oleh visi Soekarno untuk membangun monumen kebangsaan yang megah, sebagai simbol persatuan dan semangat rakyat Indonesia.

Saat itu, pembangunan Monas membutuhkan dana yang besar, dan banyak pihak yang ragu akan kelanjutannya.

Teuku Markam, dengan jiwa patriotisme yang membara, memutuskan untuk mengambil langkah berani. Pada tahun 1960, ia mendonasikan 28 kilogram emas untuk melapisi lidah api di puncak Monas.

Sumbangannya ini merupakan kontribusi terbesar, setara dengan 75% dari total emas yang digunakan.

Kedermawanan Teuku Markam tidak berhenti sampai di situ. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, selalu mendukung program-program pemerintah untuk memajukan bangsa. Ia dikenal sebagai sosok yang dermawan, rendah hati, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat.

Namun, nasib Teuku Markam tak selalu mujur. Pada masa Orde Baru, ia mengalami berbagai rintangan dan tekanan politik. Bisnisnya dihancurkan, hartanya dirampas, dan ia pun ditahan tanpa melalui proses hukum yang adil.

Meskipun dihadapkan dengan berbagai cobaan, Teuku Markam tidak pernah goyah dalam pendiriannya. Ia tetap teguh pada keyakinannya dan cintanya kepada bangsa Indonesia. Semangatnya yang pantang menyerah menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Pada tahun 1978, Teuku Markam meninggal dunia dalam kesederhanaan. Kisah hidupnya yang penuh dengan patriotisme, dedikasi, dan pengorbanan untuk bangsa, kini terukir dalam sejarah Indonesia.

Teuku Markam adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang patut dikenang dan dihormati. Ia telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu semangat juang dan patriotisme yang harus terus dikobarkan oleh generasi penerus bangsa.

Baca Juga: Sejarah Benteng Vredeburg: Menelusuri Jejak Kolonial di Yogyakarta

Kontribusi Teuku Markam

Menyumbang 28 kilogram emas untuk melapisi lidah api di puncak Monas (75% dari total emas yang digunakan).

Aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, mendukung program-program pemerintah untuk memajukan bangsa.

Menjadi contoh teladan dalam hal patriotisme, dedikasi, dan pengorbanan untuk bangsa.

Warisan Teuku Markam

Semangat juang dan patriotisme yang harus terus dikobarkan oleh generasi penerus bangsa.

Pengingat bahwa setiap individu memiliki potensi untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa, regardless of their background or circumstances.

Pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Penutup

Kisah Teuku Markam adalah kisah inspiratif tentang seorang patriot sejati yang mendedikasikan hidupnya untuk bangsa. Kegigihan, kemurahan hati, dan pengorbanannya patut menjadi teladan bagi kita semua.

Mari kita teruskan semangatnya untuk membangun Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.