Penulis
Meriam Si Jagur, juga pasangannya, meriam Si Amuk, yang sekarang menghiasa halaman Museum Fatahillah oleh beberapa orang dianggap keramat. Tak heran dulu banyak sesaji di sekitarnya.
----
Intisari saat ini sudah hadir di WhatsApp Channel, dapatkan artikel terbaru dari kami di sini
----
Intisari-Online.com -Ketika berkunjung ke Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta, kamu akan melihat sepasang meriam ini. Keduanya adalah meriam Si Jagur dan "istrinya", meriam Sio Amuk. Bagi sebagian orang, dua meriam itu tak sekadar senjata kuno.
Barangkali karenabentuk-bentuk dekorasi pada pangkal Si Jagur, banyak pasangan suami isteri memberikan sesajen kepada Si Jagur agar dapat memperoleh keturunan.
Seperti disebut di awal, Si Jagur juga punya "istri",sebuah meriam kuno pula yang diberi nama "Si Amuk". Kedua meriam kuno itu berasal dari Banten. Tidak jelas kapan kedua meriam tersebut dipindahkan ke Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kelapa. Yang jelas, Si Jagur kini masih berada di Jakarta, di Taman Fatahilah.
Sedangkan Si Amuk kini berada di Banten dan konon diamankan di Korem Serang untuk mencegah orang-orang meletakkan sesajen pada Si Amuk. Menurut legenda, kedua meriam dari Banten tersebut pada mulanya sepasang suami isteri yang bernama Jagol (suami) dan Roro Banin (isteri).
Keduanya punya seorang putrabernama si Boncing yang sangat mendambakan dapat mengabdi kepada salah seorang raja Pajajaran. Tapi raja tersebut hanya mau menerima Si Boncing jika pemuda tersebut dapat mempersembahkan sebuah alat yang suaranya dapat menggelegar bergema di seluruh negeri.
Mendengar persyaratan raja tersebut, Si Bonding menjadi sangat sedih. la hanya anak rakyat jelata. Bagaimana mungkin ia dapat mengabulkan permintaan sang raja?
Atas pertanyaan orangtuanya, Si Boncing akhirnya menceritakan permasalahan yang sedang dihadapinya.
Haras berpisah selamanya
Si Boncing tidak tahu bahwa kedua orangtuanya itu sebenarnya orang-orang sakti, walaupun mereka hidup sangat sederhana sebagai orang biasa.
Karena kesaktian mereka itu maka Pak Jagol dan isterinya Roro Banin mempunyai kemampuan-kemampuan luar biasa. Namun selama ini, mereka senantiasa merahasiakan kesaktian mereka terhadap puteranya.
Mendengar permasalahan yang dihadapi putera mereka itu, Pak Jagol dan isterinya ikut bersedih hati. Mereka mampu menolong putera mereka dari permasalahan tersebut. Namun di lain pihak, jika mereka menolongnya, maka konsekwensinya dirasakan sangat berat.
Akhirnya Pak Jagol dan Roro Banin tak sampai hati membiarkan putra mereka merana.
Pada suatu hari, Pak Jagol dan Roro Banin mengajak Si Boncing memasuki hutan belantara. Setiba di suatu tempat yang sunyi, Pak Jagol dan Roro Banin membuka rahasia mereka.
Kedua orangtua itu bersedia membantu Si Boncing namun dengan syarat bahwa mereka harus berpisah untuk selama-lamanya. Si Boncing hanya mengira bahwa dengan mengabdi kepada sang raja Pajajaran, ia tidak bisa bentemu dengan kedua orangtuanya.
Dengan berat hati, dia akhirnya bersedia berpisan dengan kedua orangtuanya.
Setelah memberikan beberapa keterangan dan pesanan kepada Si Boncing, Pak Jagol dan Roro Banin mengubah diri menjadi dua buah meriam besar yang sangat berat.
Si Boncing, sesuai dengan pesanan kedua orangtuanya, segera pergi keibukota Pajarjaran dan menghadap sang raja.
Mendengar bahwa Si Boncing telah berhasil mengabulkan permintaannya, sang raja menjadi sangat gembira. Dia segera memerintahkan sebuah pasukan untuk mengangkut kedua meriam tersebut dari hutan ke ibu-kota. Namun pasukan tersebut tidak berhasil mengangkatnya, walaupun telah dibantu oleh orang-orang desa.
Si Boncing segera pergi ke hutan untuk menemui kedua orangtuanya yang telah berubah menjadi meriam-meriam tersebut. Di sana dia mendengar suara dari salah sebuah meriam: “Boncing, hanya kaulah yang dapat mengangkat kami.”
Dan tanpa sedikit kesulitan pun, Si Boncing memanggul kedua meriam dan mengangkatnya ke ibu-kota Pajajaran. Dan atas 'jasa-jasa'-nya itu, Si Boncing diberi suatu kedudukan yang tinggi oleh raja Pajajaran.
Si Amuk menelan anak
Tidak jelas kapan kedua meriam dipindahkan ke Sunda Kelapa. Di Sunda Kelapa, meriam yang berasal-mulakan Pak Jagol diberi nama Si Jagur dan Roro Banin diberi nama Si Amuk.
Kalau Si Jagur dikatakan dapat memberikan keturunan kepada suami isteri yang tidak dapat mempunyai anak secara wajar, menurut kepercayaan, Si Amuk bisa membawa kemakmuran sesuatu negeri.
Pada suatu hari, seorang anak kecil asyik bermain melempar-lempar biji kenari di dekat Si Amuk. Tiba-tiba sebuah biji kenari menghilang ke dalam Si Amuk. Anak tersebut segera mengejarnya dan merangkak ke dalam mulut meriam untuk mengambilnya.
Tapi anak itu pun menghilang tidak keluar-keluar lagi. Ayah anak itu menjadi marah karenanya. Si Amuk dipukulinya dengan sebatang besi hingga pecah.
Mendengar peristiwa tersebut sang raja menjadi sangat sedih, karena Si Amuk dikatakan dapat membawa kemakmuran bagi negerinya.
Semua pandai besi yang ada di kerajaan Pajajaran dipanggil untuk menyambung Si Amuk kembali menjadi satu. Namun usaha para pandai besi, sia-sia belaka.
Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya, muncullah seorang pandai besi dari desa Kabayan yang bernama Ki Madang Singa. Dia berhasil menyatukan Si Amuk kembali dengan melingkari bagian yang pecah itu dengan sebuah gelang.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, sang raja mengubah nama desa Kabayan menjadi Pandegelang, yang kemudian menjadi Pandeglang. Hingga sekarang, makam Ki Made Singa masih ada di Pandeglang dan banyak dikunjungi orang berziarah.
Masing-masing tentunya dengan permohonannya sendiri. Demikian menurut legenda.
St. Jago de Barra
Menurut sejarah, nama 'Si Jagur’ diduga berasal dari nama St. Jago de Barra, meriam dari benteng Portugis di Makao. Sekitar tahun 1621-1641, benteng-benteng tersebut menjadi tempat pembuatan senjata.
Diduga senjata-senjata rampasan dari Portugis oleh Belanda di bawa ke Batavia, antara lain St. Jago de Barra yang namanya menjadi Si Jagur.
Tapi ada dugaan lain yang mengatakan bahwa sekitar tahun 1620-an orang-orang Portugis datang memberi pelajaran millter ke Mataram. Karena itu tidak disangsikan bahwa orang Portugis juga membawa meriam.
Mataram waktu itu juga bisa membuat meriam-meriam yang khas Jawa seperti Nyi Setomi (meriam betina) yang punya pasangan bernama Kyai Setomo yang nama lainnya adalah si Jagur.
Dugaan ketiga mengatakan bahwa meriam Si Jagur tidak diketahui siapa pembuatnya tapi modelnya pasti berasal dari Portugis. Karena Si Jagur punya hiasan 2 ikan lumba-lumba, Prof. Dr. Poerbatjaraka almarhum menduganya berasal dari kapal.
Tapi ternyata ada meriam-meriam lain yang bukan meriam kapal meskipun dihiasi ikan lumba-lumba.
Konon Si Jagur ada di Batavia disekitar tahun 1628-1629. Ketika itu Mataram menyerang Batavia. Perlengkapan artileri Mataram dibawa serta ke Batavia. Diduga Si Jagur tertinggal ketika pasukan Mataram diperintahkan mundur secara tiba-tiba.
Ada lagi yang mengatakan bahwa Si Jagur atau Kyai Setomo sampai di Batavia dibawa oleh Trunojoyo yang waktu itu memberontak terhadap raja Mataram (Amangkurat II) yang sempat mengambil harta pusaka termasuk 'Si Jagur' ini.
Si Jagur yang beratnya 7000 pon ini dulu sebelum diserahkan pada Museum Kota pernah tinggal di gudang Museum Pusat selama 13 tahun. Dalam penyimpanan di gudang ini ada seorang putera Maluku yang bersedia merawatnya dan memujanya selama 13 tahun.
Sebelum itu ia bersemayam diviaduct kereta api yang menuju pelabuhan Pasar Ikan yang sekarang bernama Sunda Kelapa.
Sesudah 13 tahun disimpan di gedung Museum, kemudian diserahkan ke Museum Kota pada tanggal 22 Juni 1968. Kemudian pada tanggal 30 Maret 1974 Si Jagur dipindahkan ke Taman Fatahilah yang letaknya tidak terlalu Jauh dari tempat sebelumnya. (H. Kodhyat - Intisari Juni 1974).
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News