Penulis
Intisari kini telah hadir di WhatsApp Channel, dapatkan artikel terupdate di sini
Intisari-online.com - Untuk menggali akar permasalahan dalam hubungan antara Indonesia dan Israel, kita harus menelusuri sejarah yang panjang, yang bermula beberapa dekade sebelum kedua negara ini merdeka.
Pada era 1920-an, gerakan sosial Muslim di Indonesia mulai menunjukkan minat yang mendalam terhadap isu Palestina, didorong oleh kecenderungan simpatik terhadap Arab dan solidaritas Islam.
Diskusi tentang nasib Palestina menjadi agenda tetap dalam pertemuan tahunan organisasi Islam Muhammadiyah, yang didirikan pada 1912 untuk mempromosikan pemikiran reformis Muhammad Abduh. Organisasi ini, bersama dengan Nahdlatul Ulama, menjadi dua kekuatan besar yang mengatur dinamika Islam di Indonesia.
Selama Perang Dunia II, ada suara-suara kritis dari umat Islam Indonesia terhadap sikap Inggris yang dianggap merugikan Mufti Agung Yerusalem, Haji Amin al-Husseini.
Dengan ribuan ulama Indonesia yang menimba ilmu di pusat-pusat keilmuan Arab seperti Mesir, Mekkah, dan Madinah, serta puluhan ribu jamaah haji dan umroh yang berziarah ke Saudi, perhatian terhadap masa depan Palestina telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif umat Islam Indonesia.
Salah satu inisiatif diplomatik awal Indonesia adalah mengirimkan misi ke Timur Tengah yang dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, sebagai tanggapan atas resolusi Liga Arab yang mendukung kemerdekaan Indonesia pada 18 November 1946.
Agus Salim, yang mahir berbahasa Arab, berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Mesir dan kemudian mengunjungi Suriah dan Arab Saudi untuk menandatangani perjanjian serupa.
Upaya ini membuahkan dukungan di panggung internasional, terutama ketika masalah kemerdekaan Indonesia dibawa ke PBB, di mana delegasi Arab memberikan dukungan mereka.
Pancasila, ideologi resmi negara yang dirumuskan oleh Soekarno, menegaskan pentingnya persatuan nasional dan sekularisme yang teistik namun inklusif, bukan berbasis Islam.
Dengan dukungan tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim, Soekarno menolak desakan untuk menjadikan Islam sebagai dasar konstitusi Indonesia. Penerapan Pancasila dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar Soekarno, meskipun kepemimpinannya juga diwarnai oleh aspek-aspek yang kontroversial, termasuk polarisasi politik yang meningkat selama lima tahun terakhir masa jabatannya, yang berakhir dengan tragedi.
Nasionalisme Sukarno yang kuat dan kebijakan non-bloknya mendorong Indonesia untuk mendukung negara-negara Arab dalam konflik mereka dengan Israel, yang dilihat Sukarno sebagai perpanjangan tangan imperialisme Barat, bukan karena solidaritas pascakolonial atau alasan Islam.
Sikap awal Indonesia terhadap negara Yahudi tidak dipengaruhi oleh diplomasi Israel. Catatan Israel menunjukkan bahwa mereka memperhatikan kemunculan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar.
Pada Desember 1949, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno dan Muhammad Hatta atas kemerdekaan Indonesia. Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett, menginformasikan kepada Hatta bahwa Israel mengakui Indonesia secara penuh.
Namun, ketika Sharett menyarankan pengiriman misi niat baik ke Indonesia, Hatta menanggapi dengan sopan namun menyarankan penundaan.
Ketika pemerintahan Soekarno bergerak ke arah otoriter dan kiri, sikap Indonesia terhadap Israel menjadi semakin jelas. Pada Juni 1952, laporan media Arab dan Pakistan menyebutkan bahwa Indonesia tidak berniat mengakui Israel, mengingat mayoritas penduduknya Muslim dan dukungan yang diberikan negara-negara Arab selama perjuangan kemerdekaan.
Pada Februari 1953, Reuven Barkat dari Histadrut Israel masih bisa mengunjungi Indonesia, namun pada November tahun yang sama, Indonesia menghentikan pemberian visa kepada warga negara Israel.
Pada tahun 1953, Soekarno mulai merencanakan konferensi Asia-Afrika yang akhirnya diadakan di Bandung pada April 1955 tanpa kehadiran Israel. Indonesia dan Pakistan berhasil meyakinkan negara-negara lain untuk menolak partisipasi Israel.
Krisis Suez memicu kemarahan di Indonesia terhadap Inggris, Prancis, dan Israel, serta simpati terhadap Mesir. Pada November 1956, Indonesia mengambil sikap tegas di PBB dengan mendukung deklarasi anti-Israel, sebuah sikap yang diikuti oleh banyak pemimpin Indonesia lintas partai, kecuali Partai Sosialis yang tetap ingin menjaga hubungan dengan Israel.
Sementara itu,Indonesia sepenuhnya terlibat dalam tuntutan deklarasi anti-Israel di PBB dan forum internasional lainnya. Solidaritas Muslim bukanlah satu-satunya alasan permusuhan di Indonesia.
Menurut beberapa sumber, hal ini tampaknya disebabkan oleh kebutuhan Indonesia untuk mempertahankan dukungan Arab dalam isu Irian Barat, wilayah yang ingin dianeksasi oleh Indonesia namun masih berada di bawah kekuasaan Belanda.
*
Intisari kini telah hadir di WhatsApp Channel, dapatkan artikel terupdate di sini
-----
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News