Find Us On Social Media :

Kisah Gajah dan Ibunya yang Buta

By K. Tatik Wardayati, Senin, 14 September 2015 | 19:00 WIB

Kisah Gajah dan Ibunya yang Buta

Intisari-Online.com – Alkisah, di bukit Himalaya dekat kolam teratai, pernah lahir seekor bayi gajah. Ia adalah gajah megah, murni putih dengan kaki dan wajah bagaikan karang. Belalainya berkilauan seperti tali perang dan taring gadingnya melingkar bagaikan busur panjang.

Ia mengikuti ibunya ke mana-mana. Ibunya memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon tinggi dan memberikan kepada anaknya. “Pertama engkau, kemudian saya,” kata sang Ibu. Ibunya memandikan anaknya di kolam teratai yang dingin di antara bunga-bunga yang harum. Menggambar air sampai berkilau di belalainya, lalu ia semprotkan dari atas kepala dan punggungnya sampai bersinar. Kemudian si anak gajah mengisi belalainya dengan air, membidik hati-hati dan menyemprotkan dengan sempurna tepat di antara mata ibunya. Tanpa berkedip, ia menyemprotkannya kembali. Demikian bolak-balik, mereka gembira menyemprotkan dan saling memerciki dengan air. Splish! Splash!

Kemudian mereka beristirahat dalam rerumputan lembut dengan belalai mereka saling meringkuk bersama-sama. Dalam bayangan sore, Ibu gajah beristirahat di bawah naungan pohon jambu menyaksikan anaknya bermain-main bersama bayi gajah lainnya.

Gajah kecil tumbuh dan semakin tumbuh besar hingga menjadi gajah tertnggi dan terkuat dalam kawanan. Sementara ia tumbuh lebih tinggi dan lebih kuat, ibunya semakin lebih tua dan semakin tua. Taringnya yang kuning dan rusak, dan ia menjadi buta. Gajah muda kini memetik daun terlembut dan buah mangga termani dari pohon-pohon tinggi dan memberikan kepada ibunya yang buta dan tua. “Pertama untuk Ibu, kemudian saya,” katanya.

Anak gajah memandikan ibunya di kolam teratai dingin di antara bunga-bunga yang harum. Ia menggambar air dengan belalainya, lalu disemprotkannya dari atas kepalanya dan punggung sampai bersinar. Kemudian mereka beristirahat dalam rumput yang lembut dengan belalai mereka meringkuk bersama-sama. Dalam bayangan sore, gajah muda memandu ibunya di bawah naungan pohon jambu. Lalu ia pergi bersama dengan kawanan gajah lainnya.

Suatu hari seorang raja berburu dan melihat gajah yang indah. “Ah, hewan yang indah! Aku harus bisa menaiki di atasnya!” Maka raja menangkah gajah muda itu dan menempatkannya di kandang kerajaan. Ia menghiasi gajah muda itu dengan sutra dan perhiasan dan karangan bunga teratai. Gajah muda itu diberinya rumput manis dan plum juicy serta air murni.

Tapi, gajah muda itu tidak mau makan atau minum.  Ia menangis dan menangis, semakin hari semakin kurus saja. “Wahai, gajah,” kata Raja, “aku menghiasimu dengan sutra dan perhiasan. Aku memberikan makanan terbaik dan air murni, namun engkau tidak makan atau minum. Apa yang bisa menyenangkanmu?”

Kata gajah muda itu, “Sutra dan perhiasan, makanan dan minuman tidak membuat saya bahagia. Ibu saya yang sudah tua, buta sendirian di hutan tanpa ada yang merawatnya. Meskipun saya mungkin mati, saya tidak akan mengambil makanan atau  minuman sampai saya memberikan beberapa padanya lebih dahulu.”

Raja berkata, “Belum pernah aku melihat kebaikan seperti itu, bahkan tidak di antara manusia. Ini tidak benar menjaga gajah muda ini dengan rantai.” Dibebaskan, gajah muda berlari melalui bukit-bukit mencari ibunya. Ia menemukan ibunya di kolam teratai. Ia berbaring di lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata di matanya, ia mengisi belalainya dengan air dan disemprotkan di atas kepala dan punggung ibunya sampai bersinar.

“Itu hujan?” tanya sang Ibu. “Atau anak saya kembali?”

“Ini aku anakmu, Bu!” kata gajah muda sambil menangis. “Raja telah membebaskanku!”

Saat gajah muda mencuci mata Ibunya, keajaiban terjadi. Penglihatannya kembali. “Semoga raja bersukacita hari ini seperti saya bersuka cita bisa melihat anak saya lagi!” kata Ibu gajah.

Gajah muda kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon yang tinggi dan memberikan kepada Ibunya. “Pertama untuk Ibu, kemudian saya.”