Penulis
Intisari-Online.com -Orde Baru identik dengan slogan-slogan.
Terutama slogan-slogan terkait pembangunan dan Pancasila.
Pada masa Orde Baru berkembang slogan atau visi utama yang sangat populer yakni melaksanakan atau kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Bagaimana penjelasannya?
Eksisteni pemerintahan Orde Baru berawal setelah hancurnya Orde Lama seiring diberantasnya anasir-anasir yang terkait dengan G30S 1965.
Setelah masa transisi yang singkat, dimulailah era baru ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden RI.
Era tersebut dikenal dengan Orde Baru dengan konsep demokrasi Pancasila.
Visi utama pemerintahan Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Visi utama pemerintahan Orde Baru
Pada masa Orde Baru yang berlangsung antara 1966-1998, pemerintah Indonesia dalam menerapkan Pancasila memiliki visi yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966.
Di situ ditegaskan:
"Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945."
Tiga bulan setelah dilantik menjadi presiden, tepatnya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1967, Soeharto mengatakan:
"Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila."
Ketika itu Presiden Soeharto juga menekankan bahwa Pancasila bukan sekadar semboyan untuk dikumandangkan.
Buka juga dasar falsafah negara yang sekadar dikeramatkan dalam naskah UUD.
Tapi harus diamalkan.
Pada 1968, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 tentang Tata Urutan dan Rumusan Pancasila.
Instruksi presiden tersebut dikeluarkan karena sampai saat itu belum terdapat keseragaman mengenai tata urutan dan rumusan sila kedua.
Baik dalam hal penulisan, pembacaan, ataupun pengucapannya.
Instruksi presiden tersebut mulai berlaku pada 13 April 1968.
Masih dalam rangka menjalankan misi utamanya, pemerintah Orde Baru pada 22 Maret 1978 mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Pasal 4 Tap MPR tersebut menjelaskan:
"Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bai setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, baik pusat maupun daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh."
Watak Orde Baru
Era pemerintahan pada masa Soeharto dikenal sebagai Orde Baru (1965-1998) dengan konsep Demokrasi Pancasila.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, visi utama pemerintahan Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia.
Tetapi kenyataan yang terjadi, Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.
Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya menjadi alat politik penguasa.
Hal tersebut dapat terlihat dari karakteristik politik pada periode Orde Baru.
Karakteristik Demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan Orde Baru berdasarkan indikator demokrasi, yaitu:
1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak pernah terjadi.
2. Rekrutmen politik bersifat tertutup.
3. Terjadi kecurangan pada Pemilihan Umum.
4. Pelaksanaan hak-hak dasar warga negara lemah.
Keempat indikator tersebut menjadi bukti catatan hitam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Berikut ini penjelasannya:
- Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak pernah terjadi
Rotasi kekuasaan eksekutif terjadi pada jajaran yang lebih rendah seperti gubernur, bupati atau walikota, camat dan kepala desa.
Perubahan selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan Wakil Presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
- Rekrutmen politik bersifat tertutup
Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam penyelenggaraan pemerintah negara.
Untuk lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR dan DPRD) maupun yudikatif (MA).
Di negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai peluang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut.
Tetapi yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekrutmen politik bersifat tertutup.
Sistem rekrutmen tertutup sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Pengisian jabatan tinggi seperti Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan jabatan-jabatan lain dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan.
Demikian juga dengan anggota badan legislatif.
Anggora DPR dipilih melalui proses pengangkatan dengan surat keputusan Presiden.
Pada rekrutmen politik lokal (gubernur dan bupati atau walikota), masyarakat di daerah tidak punya peluang ikut menentukan pemimpin. Presiden memutuskan siapa yang akan menjabat.
- Terjadi kecurangan pada Pemilihan Umum
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pemilihan Umum telah dilangsungkan sebanyak tujuh kali dengan frekuensi setiap lima tahun sekali secara teratur.
Tetapi kualitas pelaksanaan pemilihan umum masih jauh dari semangat demokrasi.
Karena Pemilu tidak melahirkan persaingan sehat, terjadi kecurangan-kecurangan yang sudah menjadi rahasia umum.
- Pelaksanaan hak-hak dasar warga negara lemah
Dunia internasional sering menyoroti politik Indonesia terkait perwujudan jaminan hak asasi manusia.
Terutama masalah kebebasan pers.
Persoalan mendasar adalah selalu ada campur tangan birokrasi yang sangat kuat.
Selama pemerintahan Orde Baru, sejarah pemberangusan surat kabar dan majalah terulang kembali seperti pada masa Orde Lama.
Beberapa media massa dicabut surat ijin penerbitannya atau dibredel.
Setelah mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara.
Kebebasan berpendapat menjadi tidak ada.
Pemerintah melalui aparat keamanan memberikan ruang terbatas kepada masyarakat untuk berpendapat.
Pemberlakuan Undang-undang Subversif membuat posisi pemerintah kuat karena tidak ada kontrol dari rakyat.
Rakyat takut berpendapat mengenai kebijakan yang diambil pemerintah.
Pemerintah memenjarakan dan mencekal orang-orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Begitulah, padamasa Orde Baru berkembang slogan atau visi utama yang sangat populer yakni melaksanakan atau kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News