Penulis
Intisari-Online.com – Alkisah, hidup seorang pengusaha yang cukup berhasil di sebuah kota. Ketika pengusaha itu jatuh sakit dan cukup parah, satu per satu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan dan biaya hidup. Ini semua karena sang pencari nafkah sedang terbaring tak berdaya.
Hingga akhirnya mereka harus pindah ke pinggiran kota dan membuka sebuah rumah makan sederhana. Sementara, sang suami sudah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan sederhana itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil di sebelah pasar.
Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang ibu tua itu dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota.
“Cucunya sudah berapa, Bu?” tanya beberapa pelanggannya yang masih mengenal masa lalu ibu itu yang berkelimpahan. Namun, ibu itu tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli.
Lalu seorang pembeli yang mengetahui kisah ibu penjual nasi itu memberanikan diri bertanya, “Wahai Ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?”
Ibu penjual nasi itu tersenyum ramah, lalu menjawab, “Harapan, Nak! Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu kita takkan pernah sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia.”
Bagaikan sebuah kendaraan, harapan adalah bahan bakar dalam kehidupan kita. Kendaraan akan mati dan tidak bisa berjalan normal jika bahan bakarnya habis, begitupun jika kita kehilangan sebuah harapan.
Semakin besar harapan seseorang, maka semakin kuatlah keyakinan kita dalam melangkah. (BMSPS)