Penulis
Intisari-Online.com – Dalam rangka memperingati Hari Ibu, kami menurunkan tulisan yang pernah dimuat dalam buku terbitan Intisari tahun 2010, Ibu Di Mata Mereka, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis. Beberapa tokoh Indonesia mengisahkan tentang Ibu mereka. Kali ini adalah Ibu di Tukul; Ibuku Ada Dua.
--
Bahwa aku terlahir sebagai anak ketiga dengan nama Rianto baru aku ketahui waktu duduk di kelas 4 SD. Sebelumnya, aku mengira aku adalah anak tunggal dari ibu yang bernama Daminah, seorang perempuan berasal dari Lasem, Jawa Tengah yang bersuamikan Kaswono Suwandi dari Kutoardjo. Aku dibesarkan dengan limpahan kasih sayang dari mereka.
Ternyata, gara-gara semasa bayi, aku sering sakit dan punya hobi menangis berkepanjangan, ibu kandungku Sutimah yang berasal dari Semarang, sering kehabisan akal untuk membuatku tenang dan berhenti menangis. Anehnya, bila aku digendong oleh Ibu Daminah yang tinggal di sebelah, mendadak sontak aku terdiam, tenang, dan lelap dalam buaiannya. Maka, sejak berumur 8 bulan, aku diasuh oleh Ibu Daminah yang ditakdirkan tidak punya keturunan. Karena kondisi kesehatanku sering sakit, disepakati untuk memberi tambahan nama Tukul yang dalam bahasa Jawa berarti "tumbuh". Meminjam istilah keren dari sobatku, George Sapulete, "Growing upl"
Aku masih terkenang betapa ibu angkatku ini memanjakan diriku. Menjadi pusat perhatian tumpuan kasih sayang. Semasa duduk di bangku SD di Semarang, aku bahkan kerap kali digendongnya bila pergi sekolah. la selalu membanggakan dan memamerkan diriku sebagai putra tunggalnya.
Dengan fasilitas yang lumayan aku dibesarkan oleh pasangan tadi. Terkadang rasa sepi karena sendiri, aku sering mengundang kawan-kawan untuk menemani aku bermain, menonton televisi bersama, dan menikmati masa kecil yang ceria.
Ibu selalu menekankan agar aku bersekolah yang benar agar tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas dan memiliki kehidupan yang lebih layak dari mereka. Aku rajin belajar dan bercita-cita ingin menjadi seorang insinyur.
Kedua ibuku mendukung semangatku. Di saat itu, aku mulai menyadari bahwa aku harus memahami rumus untuk memahami IPA. Aku pun mulai menggandrungi pelajaran itu dan berjuang sepenuh hati agar lulus dengan NEM yang membanggakan orang tuaku.
Aku yang bersekolah di SMA swasta, diikutsertakan ujian yang diselenggarakan di SMA Negeri I, Semarang. Aku lulus, namun cita-citaku ternyata hanya sebatas angan-angan. Orang tuaku tak memiliki uang untuk biaya pendidikan di perguruan tinggi.
Berbekal ijazah SMA aku belajar mengadu nasib. Mengamati kehidupan para pelawak yang ditayangkan di televisi membuatku berpikir. Bisakah aku mencoba lapangan hidup di dunia hiburan? Ternyata mencoba memasuki dunia yang sama sekali asing itu tidaklah semudah membuka telapak tangan.
Aku mengalami jatuh bangun selama ± 31 tahun untuk pencapaian yang kudapat. Kasih sayang kedua ibuku membekali prinsip kehidupanku, saat beranjak dewasa. Kearifan sikap dari ibu kandungku dan limpahan kasih sayang ibu angkatku menjadi modal penting dalam menghadapi berbagai rintangan yang kuhadapi.
Kebersihan hati dan bersikap jujur yang selalu ditanamkan mereka berdua, seakan-akan menjadi benteng yang kuat dalam menentukan kepastian masa depanku. Namun, waktu aku baru menamatkan pendidikan di bangku SMA, mereka wafat. Pada Juli 1983, ibu kandungku Sutimah menutup mata, disusul pada November di tahun yang sama, ibu Daminah dipanggil kembali oleh Allah yang Maha Kuasa.
Dengan segala keterbatasan, aku mencoba peruntunganku. Sejak tahun 1985, aku mondar mandir ke ibukota. Aku masih ingat bagaimana perasaanku waktu pertama kali turun dari kereta di stasiun Senen. Semuanya masih berupa tanda tanya!
Di dalam kondisi penuh ketidakpastian itu, aku terkenang pada kedua ibu yang selalu membangun rasa percaya diri dengan cara yang amat sederhana. Oleh karena itu, semangatku terus menyala meski tak ada lagi tempat mengadu, bermanja, atau sungkem untuk mendapat restu.
Meskipun aku sebenarnya tak suka melihat ke belakang untuk mengenang pengalaman pahit waktu diriku belum mendapat tempat di rimba dunia hiburan. Namun, diam-diam aku sering merindukan kedua sosok perempuan yang memberikan bekal ketegaran dan sikap pantang mundur yang luar biasa. Satu kenangan manis yang tercatat begitu dalam di hati sanubariku.
Seandainya kedua perempuan itu masih hidup, pasti aku akan dapat menemukan telaga kesejukan dan pendukung semangatku yang menggebu-gebu semasa mengadu nasib di ibukota.
Meminjam istilah kamera pertelevisian, aku masih dapat mengarahkan lensa zoom in dan zoom out. Aku selalu terkenang pada "adegan" waktu Ibu sengaja datang menjumpaiku dan memberiku sebuah buku tulis tebal. "Belajarlah yang rajin! Kamu harus jadi orang kelak." Kamera itu seolah merekam semua kenangan masa lalu yang kami miliki bersama begitu jelas dan mengharukan!
Aku masih dapat membayangkan ibuku, Sutimah, A small lady, feminine, melancholic face dan yang satu lagi ibu Daminah yang tinggi semampai dan hatinya penuh kasih sayang. Seandainya saja mereka berdua masih ada di sekitarku ... aku akan membuktikan bahwa aku tidak lupa daratan. Aku tidak kaget pada kemapanan. Aku tidak mabuk ketenaran... seperti yang diajarkannya dan yang dibisikkannya ke hati nuraniku semasa kecil hingga remaja dahulu. Mereka berdua benar-benar berhasil memberikan motivasi sederhana, namun luar biasa maknanya. Penasihat spiritualku menganjurkan agar aku lebih rajin memanjatkan doa untuk arwah kedua ibuku tadi. Katanya, "Daripada memajang foto mereka untuk sekadar dipandang, tak ada gunanya." Oleh karena itu bila sekarang ada yang ngotot minta foto mereka, aku akan tegas menjawab ndak tau di mana.