Ibu di Mata Addie Ms: Ibu Bangga Akan Diriku

Anjani Harum Utami

Penulis

Ibu di Mata Addie Ms: Ibu Bangga Akan Diriku

Intisari-Online.com - Dalam rangka memperingati Hari Ibu, kami menurunkan kembali tulisan yang pernah dimuat dalam buku terbitan Intisari tahun 2010, Ibu Di Mata Mereka, yang ditulis oleh Yatie Asfan Libis. Beberapa tokoh kemudian mengisahkan tentang ibu mereka, salah satunya adalah Konduktor ternama di Indonesia, Addie Ms.

--

Ayahku, almarhum Bandi Sumaatmadja yang berasal dari Cirebon, menolak untuk memilih musik sebagai bidang yang kugeluti. Sementara ibuku, Sri Wahyuni, yang berasa dari Salatiga, menularkan kegemarannya menikmati alunan musik klasik sejak aku masih berusia dini. Tanpa kusadari, nampaknya jalan hidupku terpengaruh oleh ibuku dan kakekku, Muhammad Susilo. Kakekku seorang pemain biola tapi lebih dikenal sebagai planalog yang merancang Kota Satelit Kebayoran Baru.

Pernikahan mereka dikaruniai 8 orang anak; 7 putra dan 1 putri. Budi Sumaatmadja kemudian susul menyusul Toni Stri Agustono, aku - Addhie Mulyadi Sumaatmadja -, Hardjono Sumaatmadja, Toto Sugito, Suci Oktowati, uli Rachmat, dan Iwan Wicaksono.

Aku lahir di Jakarta (7 Oktober 1959), dan belajar piano pada Mrs Rotti Pengembangan minat dan bakatku melewati cara otodidak. Meski ayahku kurang setuju tapi seingatku, Ibu adalah pendengar setiaku. Sejak mulai belajar piano hingga kesempatan lain yang memungkinkan ia hadir, ia menjadi pendengarku! Ia begitu setia mengamati perkembanganku dalam bermain piano.

Meski ayahku bersikap mirip seorang "penegak hukum" dalam arti kata kami semua diinstruksikan hams begini, tidak boleh begitu dan sebagainya. Boleh jadi sikap-sikap seperti itu lengkap dengan tuntutan disiplin adalah sisa-sisa perangainya sebagai pejuang pada awal kemerdekaan di tahun 1945-an di kawasan Semarang. Setelah Indonesia merdeka, ia bekerja di Departemen Perdagangan. Namun karena Ayah menemukan ketidak-serasian dalam pola bekerja, ia "cabut" dan mencoba berwiraswasta dengan modal dengkul.

Ia mencoba mengadu nasib dengan berbisnis teraso. Membuka pabrik ubin halus itu di kawasan Kebun Jeruk. Ternyata, pabrik yang dikelolanya bertambah maju. Produk tersebut dipakai antara lain di bangunan Bandar Udara Cengkareng, Puri Agung Sahid Jaya, Sarinah dan masih banyak lagi. Kami berdelapan dilatih untuk menjadi generasi penerus. Dimulai dari bawah, bahkan menjadi kasir. Tapi anehnya, tak satu pun dari kami tertarik pada bidang wiraswasta. Pernah aku mencoba jadi kasir. Tekor melulu ... sampai-sampai aku harus nombok.

Ibu punya karakter yang mengimbangi "kekakuan" Ayah. Ibaratnya, Ayah adalah api yang berkobar-kobar ... ibuku adalah air penyejuk yang mententramkan hati kami semua. Ibuku penyabar, tegar, dan tidak gampang mengeluh. Aku menyimak perilakunya sejak aku masih kecil. Bisa jadi ia tak punya waktu untuk bermanja-manja pada suaminya. Apalagi, menuntut untuk dibelikan yang di luar batas kemampuan suaminya.

Ayahku yang "kaku dan lurus" mengajarkan semua untuk bersikap wajar. Aku teringat pada satu semboyan hidup berbahasa Jawa yang ditulisnya besarbesar di depan meja kerjanya, "Ojo Dumeh ..." Kami semua juga istrinya diajak untuk menghayati makna motto hidupnya. Hidup sewajarnya dan tak sah mengada-ada.

Alhasil, Ibu dan kami semua belajar menyesuaikan diri dengan kesederhanaan bersikap dan berpikir. Sampai-sampai, ia baru memutuskan untuk membeli kursi baru bila kursi lama benar-benar sudah reyot. Pada masa remajaku, aku ingin bergaya trendy dengan mengenakan sepatu bermerek. Ayah justru memberiku semangat untuk tampil sebagai diriku sendiri. Memacuku untuk pintar mencari uang agar bisa membeli semua keinginanku dari dompetku sendiri.

Ibu menerima jahitan baju dari tetangga untuk menambah uang belanja kami. Aku tak pernah melihat wajahnya muram. Aku tidak romantis dan tak pintar bermanja-manja padanya. Bisa jadi aku memiliki "kekakuan" ayahku. Tapi meski demikian, aku merasakan kedekatan yang mesra dengannya. Kami selalu berkomunikasi lewat telepon dan sesekali bertemu untuk melepas rindu

Aku sudah mengajaknya melancong ke Amerika dan Australia. Aku berharap dapat mewujudkan impiannya. Melihat Bunga Tulip di negeri Belanda. "Ya Tuhan, izinkan aku mengantar ibuku ke Negeri Kincir Angin itu ...."