Penulis
Intisari-Online.com -Tahun 1930-an, banyak penduduk Jerman merasa tertekan oleh Diktator Adolf Hitler. Sebagian memilih meninggalkan tanah air mereka, di antaranya Prof. Dr. Cluiver, seorang ahli penyakit tropis. Setelah berpraktik bertahun-tahun di bekas jajahan Jerman di Afrika, ia pergi ke Hindia Belanda dengan membuka praktik di Batavia (kini Jakarta).
Menurut undang-undang yang berlaku di Hindia-Belanda, dokter yang bukan lulusan Belanda atau Hindia Belanda, harus menemupuh ujian terlebih dahulu sebelum berpraktik. Ujian itu sifatnya menyeluruh (totaal compleet examen). Dr. Cluiver tidak luput dari keharusan ini, walaupun ia sudah mempunyai pengalaman bertahun-tahun di area tropis di Afrika.
Pelbagai mata ujian ditempuh dengan hasil gemilang. Para pengujinya semua spesialis, kebanyakan orang Belanda walaupun ada asisten-asisten orang Pribumi dan Indo. Yang mengesalkan para dokter, terutama dokter Pribumi dan Indo adalah tingkah laku Dr. Cluiver yang sangat sombong. Sikapnya merendahkan dokter-dokter lulusan Hindia Belanda.
Pada masa itu, kepala dan guru besar bagian penyakit dalam adalah Doktor R. Asikin Widjajakusumah yang mempunyai reputasi internasional dan tidak jarang dijadikan tempat bertanya tentang penyakit tropis oleh rekan-rekannya di luar negeri.
Ketika tiba giliran Dr. Cluiver untuk menempuh ujian penyakit dalam, Dr Asikin bermaksud memberi “pelajaran halus”. Ia sengaja tidak memajukan dirinya sebagai penguji, tetapi mengutus dua asistennya yang terbaik: dokter Maskawan dan dokter Kornel Singawinata yang masih muda belia.
Begitu mengetahui pengujinya cuma asisten yang masih muda, meluaplah kemarahan Dr. Cluiver. Ia mengajukan keberatan kepada panitia ujian dan meminta agar mereka digantikan oleh orang Belanda totok lulusan Nederland yang sudah berpengalaman.
Ketua panitia menajawab, “Yang akan diuji adakah kepandaian, bukan kebangsaan. Kedua penguji itu cukup pandai.”
Terpaksalah Dr. Cluiver menerimanya walaupun dengan kesal. Dalam ujian lisan yang dilansungkan dalah bahasa Jerman itu terjadi dialog kira-kira seperti berikut:
Penguji: “Tuan Examinandus yang terhormat. Sudah bulatkah niat tuan untuk membuka praktik di Batavia?”
Dr. Cluiver: “Bulat.”
Penguji: “Terimakasih. Apakah tuan merasa sudah mempunyai pengalaman yang cujup tentang penyakit tropisyang biasa berjangkit di kalangan masyarakat setempat dan sanggupkah tuan mengobatinya?" Dr. Cluiver (dengan wajah kesal dan dengan nada mengejek): “Sudah cukup sekali. Justru karena itulah jauh-jauh dari Jerman saya berani menginjakkan kaki ke Indie.”
Penguji: “Baiklah. Coba tuan sebutkan gejala-gejala dan bagaimana caranya menetapkan ciri penyakit jengkoleun (kejengkolan) dan bagaimana mengobatinya.”
Mendadak sontak profesor yang sombong itu menjadi bingung. Ia meminta nama penyakit itu diulang tetapi tetap saja ia tidak mengenalnya. Akhirnya, penguji menyatakan Dr. Cluiver tidak lulus dalam ujian yang satu ini.
Penguji: “Tuan mendapatkan waktu enam bulan untuk mencari jengkol dan mempelajari jengkoleun. Selamat pagi!”