Find Us On Social Media :

Seni Bersyukur dan Berkomunikasi

By K. Tatik Wardayati, Senin, 4 Januari 2016 | 19:00 WIB

Seni Bersyukur dan Berkomunikasi

Intisari-Online.com – Belum sempat Pak Joko meletakkan tas kerjanya sepulang ke rumah, matanya tertegun melihat sebuah surat tergeletak di atas meja. Di amplopnya tertulis “Untuk Ayah tersayang”.

Setelah belasan tahun menjadi orangtua tunggal, baru kali ini ada surat untuknya dari Elin, anak gadisnya. Ada apa? Kalimat pertama pada surat itu sungguh mengguncang hatinya; “Ayah tersayang, jika ayah membaca surat ini maka aku sudah tidak ada di rumah.”

Sekalipun berat Pak Joko melanjutkan membaca surat itu kata demi kata.

“Ayah, aku telah menemukan pria yang akan jadi calon Pendampingiku selamanya. Memang buat orang lain dia sudah terlalu tua, tapi bagiku pria berusia 43 tahun masih tetap muda.

Dia sangat energik ayah, kalau ayah mengenal lebih dekat dengannya pasti ayah juga akan menyukainya. Ayah jangan terkecoh dengan tato di seluruh tubuhnya atau jenggot dan brewoknya yang panjang atau puluhan tindik di telinga dan hidungnya, karena jauh di dalam hatinya ia adalah orang baik. Ia sangat sayang padaku, dan aku akan kost tidak jauh dari rumahnya. Oh, ya, Ayah tidak usah khawatir tentang kehidupanku. Aku akan bekerja di sebuah toko swalayan yang kebetulan pemiliknya adalah teman dari kekasihku ini.

Ayah jangan bersedih karena aku bahagia dengan kehidupan seperti ini. Usiaku sudah 18 tahun, jadi aku bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupku. Percayalah, Ayah, aku bisa menjaga diri. Nanti bila waktunya tiba aku akan datang bersama kekasihku untuk mohon restu kepada ayah agar dapat menikahkan kami.”

Tanpa sadar, air mata sang ayah menetes jatuh ke lembar surat itu. Bagai mana mungkin anaknya yang lucu dan periang bisa menjadi seperti ini?

Lembar pertama surat pertama baru saja selesai dibacanya. Tangan sang ayah bergetar, berat rasanya, tapi ia membuka lembar kedua surat itu.

Kali ini isinya jauh berbeda. “Ayah sayang… Maaf, sebenarnya surat di halaman pertama tadi tidak benar-benar terjadi. Aku hanya ingin menggambarkan betapa kemungkinan terburuk bisa terjadi pada anak-anak gadis, dan syukurlah, Aku tidak demikian.

Ayah bahagia bukan, kalau aku tetap bersama ayah? Ayah bahagia bukan, dan tidak ingin Aku  menghancurkan diriku seperti itu? Tentu saja, mempunyai anak yang rapornya jelek, jauh lebih menguntungkan daripada mempunyai anak seperti itu.

Oh iya Ayah, raporku ada di dalam tas, nilainya jelek, maaf ya. Silahkan Ayah lihat, jangan lupa ditandatangani. Besok guru ingin bicara dengan ayah tentang nilai raporku, jangan marah ya. Kalau ayah tidak marah melihat nilai raporku, aku sedang bermain di rumah sebelah, aku tunggu ya Ayah… Love you Ayah.”

“Eliiiiiiiiin……….!” Pak Joko berteriak dan lari ke rumah tetangganya, ia akan mengelitiki habis anaknya yang ‘keterlaluan’ itu. Lega rasanya hati Pak Joko. Konyol tapi melegakan.