Penulis
Intisari-Online.com – Merasa sudah cukup menyelami kehidupan glamor, Any memilih aktif dalam berbagai aktivitas sosial. Perlahan-lahan ia mulai menemui makna dari kehidupan yang sekarang dijalaninya. Tulisan ini berkisah tentang Any Kusuma Dewi, Bunda bagi Anak Jalanan Kota Tua, yang ditulis oleh Birgitta Ajeng dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2014.
--
Disadarkan ibu tua
Sebenarnya tak ada peristiwa yang begitu spesial hingga Any akhirnya memilih untuk perlahan-lahan meninggalkan dunia lamanya. Kebetulan, sejak 10 tahun lalu, dia sudah menyukai aktivitas sosial. Dengan kecukupan hartanya ia hadir untuk pihak-pihak yang membutuhkan. Sifatnya lebih kepada sedekah pribadi berbentuk beasiswa, pengobatan gratis, tanggap bencana, atau santunan-santunan lain.
Belakangan, ketika semakin aktif di aktivitas sosial, Any mulai menyadari bahwa kehidupannya di masa lalu sangat berlebihan dan sia-sia. Waktunya habis untuk hal-hal yang tidak terlalu bermanfaat. Bahkan perhatian terhadap keluarganya juga menjadi terbengkalai.
Di tengah salah satu aktivitas sosialnya, ada peristiwa yang semakin membuka mata hati Any. Ketika itu ia tengah melakukan bakti sosial di daerah Banten. Pada hari terakhir, Ketua RT setempat memberi tahu tentang seorang ibu sakit parah dan tidak bisa berjalan. Akhirnya Any beserta tim relawan dan dokter pergi ke rumah ibu tersebut.
Sesampainya di sana, Any terperanjat. Rumah itu berupa gubuk yang hampir ambruk. Lantainya tanah. Di dalamnya, hanya ada dipan bambu dengan kasur yang sudah tidak layak. Seorang ibu yang sudah renta, berbadan kurus, tampak terberbaring di atasnya. Beberapa potong roti yang sudah berjamur tergeletak di atas meja. Hati Any semakin terenyuh, saat menyaksikan di punggung ibu tersebut ada luka yang sudah membusuk.
Di situlah Any tergerak. “Saya langsung kayak orang yang terbangun dari tidur, ke mana saja saya selama ini? Ternyata masih banyak sekali orang-orang yang kurang beruntung di sekitar kita. Jangankan untuk membeli sesuatu yang berharga, untuk makan pun, untuk bertahan hidup pun rasanya susah.”
Any dan teman-teman relawan akhirnya membawa ibu itu ke rumah sakit. Dari sanalah seorang teman relawan menyarankan agar Any membuat yayasan. Lahirlah Yayasan Tri Kusuma Bangsa pada 2010. Hingga kini cukup banyak aktivitas sosial seperti yang terlihat di situs web yayasan tersebut.
Tiga jam saja
Dalam kesehariannya, Any memang sangat mencintai anak-anak. Dia ingin selalu menyenangkan hati mereka. Sifat ini pula yang mendorongnya membuat kegiatan belajar bagi anak jalanan di Kota Tua. Awalnya, ketika Any tengah makan di salah satu restoran, anak-anak jalanan itu silih berganti datang mengemis dan mengamen. Dia memilih tidak memberi uang, melainkan mentraktir anak-anak jalanan itu makan.
Jumlah anak-anak waktu itu sekitar 20-an. Karena jumlah kursi dan meja makan terbatas, Any terpaksa menyewa terpal untuk alas duduk. Anak yang sudah mendapat makanan, boleh langsung makan. Sementara yang menunggu pesanan, boleh bernyanyi terlebih dahulu. Melihat keriangan anak-anak, Any bertanya, “Kalau seminggu sekali Bunda datang, mau enggak?”Anak-anak pun setuju.
Awalnya hanya ingin sekadar bermain, namun Any merasa perlu memberikan sesuatu yang lebih berharga, yaitu pendidikan. Dimulai sejak Maret 2012, aktivitas bersama anak-anak akhirnya menjadi bermain sambil belajar, diadakan setiap Sabtu pukul 15.00-18.00.
Tentu saja ada kendala. Banyak orangtua anak yang protes dan menentang. “Waktu itu, mereka bilang: ‘Bunda, anak saya ini tiga jam belajar sama Bunda, mereka minimal sudah dapat 50 ribu kalau mengamen’,” kenang Any yang akhirnya membuat kesepakatan dengan mereka. Kalau orangtua keberatan, anak-anaknya cukup belajar satu jam saja. Dan seluruh anak mendapat makanan dan susu selesai acara.
Kendala lain juga kerap datang dari anak-anak itu. Mengajar anak-anak yang tumbuh di jalanan tidaklah mudah. Butuh kesabaran dan kecerdikan agar mereka mau kembali datang setiap pekan. Oleh karena itulah Any menekankan kegiatan ini sebagai bermain sambil belajar agar anak tidak terbebani. Ada pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, mengaji, dan keterampilan. Diselingi bermain, tentunya.
Para pengajar berasal dari mahasiswa sampai profesional. Bahkan, Any pernah mengundang teman-temannya dari kalangan artis untuk ikut terjun. “Saya datangkan bukan untuk mengubah mereka, tapi memotivasi. Saya ingin mereka punya kesadaran, kalau ingin seperti saya atau pengajar yang lain, jalannya ya lewat pendidikan,” tutur dia.
Mengembalikan ke kehidupan lama
Meski kehidupannya sudah banyak berubah, Any menolak dikatakan telah menemukan hidup baru. Menurut dia, Tuhan hanya mengembalikan ke kehidupan lamanya, hanya saja waktunya lebih cepat dari perkiraan. “Saya ini ‘kan dari kampung yang lugu. Harusnya memang harus mengurus keluarga, “ tutur Any yang menikah di usia 18 tahun dan kini memiliki tiga anak yang telah beranjak remaja.
Apabila saat ini yayasan dan aktivitas sosialnya membutuhkan dana rutin, kata Any, hal itu bisa terpenuhi dari dana yang dulu biasa dibelanjakan untuk mempercantik diri. Sesekali beberapa temannya yang hidup berkecukupan juga ikut menyumbang. Misalnya dengan menyumbang makanan bagi anak-anak jalanan.
Perubahan lain yang tak kalah penting, kini keluarganya ikutmerasakan perhatiannya. Waktu yang dulu banyak dihabiskan untuk aktivitas hura-hura kini dialihkan ke aktivitas pekerjaan di kantor dan mengurus anak di rumah. Bahkan Any sekarang sibuk menyelesaikan kuliah untuk mendapat gelar sarjananya. Tidak mau tanggung, dia langsung mengambil dua jurusan yakni ilmu hukum dan manajemen. Prinsipnya, tak ada kata yang terlambat untuk berubah dan mengejar ilmu.