Penulis
Intisari-Online.com – Suatu ketika seorang Dirut PT PLN, berujar ingin menggratiskan biaya listrik bagi rumah tangga miskin di Indonesia. Sebuah niat baik yang patut diapresiasi. Tapi kenyataannya malah dicemooh oleh berbagai pihak. Itu mustahil, rekayasa politik, cari popularitas, pasti ada udang di balik batu. Kisah lain datang dari seorang bupati di Jawa Timur yang berniat membebaskan biaya pendidikan di wilayahnya. Namun, ternyata hasrat baik itu justru dicela lawan politiknya.
Absurd memang. Perbuatan baik kok ditentang. Fenomena di atas diangkat oleh Budayawan Jaya Suprana di rubrik Teroka, Kompas edisi 7 Agustus 2010, dalam tulisannya yang berjudul Sulitnya Berbuat Baik. Bisa dipahami, Jaya Suprana cukup galau menyaksikan kondisi masyarakat ini. Tapi ia tidak sendirian.
Mengapa berbuat baik jadi lebih sulit daripada berbuat jahat? Jaya menyinggung soal masifnya kejahatan dalam kehidupan kita. Sampai-sampai kejahatan tersebut dianggap lumrah oleh diri kita. Sementara tokoh lain berpendapat, kondisi ini terjadi lantaran sudah akutnya individualisme orang-orang Indonesia. Orang zaman sekarang hanya ingin berada di zona aman dan tidak ingin bersusah-susah demi orang lain. Mereka lupa bahwa “Our own happiness must include the happiness of others.”
Dr. Leo Buscaglia, seorang motivator dan inspirator Amerika meyakini bahwa kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi dan menerima cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain. “Terlalu sering kita meremehkan kekuatan sebuah sentuhan, sekilas senyuman, sebuah kata, mendengar keluhan orang lain, pujian tulus, atau tindakan kecil membantu orang lain, yang semua itu punya kekuatan untuk mengubah kehidupan,” kata Buscaglia.
Dinding kopi
Pengalaman sepasang wisatawan di sebuah kafe kopi terkenal di Venesia, Italia, seakan mengamini pernyataan Buscaglia. Ketika wisatawan ini lagi asyik menikmati kopi, datanglah seorang pria paruh baya dan duduk di meja kosong. Tak lama kemudian ia memanggil pramusaji untuk memesan kopi, “Pesan dua cangkir. Yang satu untuk di dinding.” Mendengar kalimat tersebut mereka sempat terheran. Apalagi sang pria kemudian hanya disuguhi satu cangkir kopi, namun ia membayar untuk dua cangkir. Segera setelah pria tersebut pergi, si pramusaji menempelkan selembar kertas kecil bertuliskan Segelas Kopi di dinding kafe.
Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di meja, satu lagi untuk di dinding. Mereka membayar tiga cangkir kopi sebelum pergi. Lagi-lagi setelah itu pramusaji melakukan hal yang sama, menempelkan kertas bertulis Segelas Kopi di dinding. Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat wisatawan tersebut tak habis heran. Akhirnya mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya.
Secara kebetulan minggu berikutnya mereka mampir kembali di kafe yang sama. Mereka melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya kumal dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan, “Satu cangkir kopi dari dinding.” Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi. Setelah menghabiskan kopinya, lelaki lusuh tadi lantas pergi tanpa membayar.
Tampak si pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah. Meski merasa heran melihat ini semua, pertanyaan mereka terjawab sudah. Message semua ini jelas. Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang tak berpunya dengan tetap menaruh respek kepada orang yagn ditolongnya. Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu harus merendahkan harga diri, mengemis kopi. Bahkan mereka pun tidak perlu tahu siapa yang “mentraktirnya”. Suatu tatanan hidup bermasyarakat yang amat menyentuh, dan mengharukan.
Hari ini kita mendapat pelajaran hidup yang sangat berharga dari sebuah dinding kopi, pelajaran tentang bagaimana cara berbagi dengan sesama. Betapa mudahnya orang-orang itu berbuat baik. Bukankah peradaban yang memelihara manusia, sesungguhnya adalah peradaban yang digerakkan oleh niat baik? Kapan kita bisa seperti itu? (Djs – Intisari Agustus 2015)