Penulis
Intisari-Online.com – Tengah malam Januari 1935, seperti biasa Fiorello Enrico La Guardia (11 Desember 1882 – 20 September 1947) muncul di pengadilan malam. Di depan Walikota New York yang menurut salah satu undang-undang Amerika Serikat diberi wewenang untuk bertindak sebagai hakim itu duduk seorang pesakitan wanita berpakaian compang-camping. Wanita ini dituduh mencuri sepotong roti dari sebuah bakery.
Kepada La Guardia, wanita ini mengaku terpaksa mencuri lantaran putus asa. Anak perempuannya sedang sakit dan kedua cucunya kelaparan. Sementara menantunya minggat tak bertanggung jawab.
Di lain pihak, pemilik bakery tak mau mencabut pengaduan. “Kalau dibiarkan, ini akan merusak lingkungan, Yang Mulia,” ujarnya. “Ia harus dihukum untuk memberi pelajaran kepada yang lain,” tambahnya.
La Guardia menarik napas panjang. Lalu berkata kepada wanita tersebut, “Saya tetap menghukum kamu. Hukum tidak pandang bulu. Hukumanmu membayar denda AS$10 atau kurungan 10 hari.”
Di luar dugaan, sambil mengucapkan vonis, tangan kiri Guardia membuka topi sombreronya, sedangkan yang kanan merogoh selembar uang dari saku lantas memasukkan ke dalam topinya. “Ini adalah AS$10 dendamu yang sekarang juga saya bayarkan. Selanjutnya, saya akan mendenda semua orang yang hadir di ruangan ini, masing-masing 50 sen dolar karena hidup di kota ini dan membiarkan seseorang mencuri roti agar cucunya bisa makan. Sdr. Juru Sita, kumpulkan uang denda dan berikan kepada Sdr. Terdakwa. Sekarang!” Terkumpullah AS$47,50 yang kemudian diberikan kepada si wanita terdakwa yang masih terbengong-bengong.
Cerita kaum papa yang terjerat hukum juga banyak terjadi di Indonesia. Tanggal 2 Agustus 2009, Minah (55) warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, ketahuan mencuri tiga buah kakao di lahan PT Rumpun Sari Antan (RSA). Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Namun, PT. RSA tak mau mencabut pengaduan sehingga Minah dihukum 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Kisah lain menimpa Nenek Asyani (70), warga Kecamatan Jati Banteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Ia kedapatan mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani setempat. Menurut pengakuannya, kayu tersebut akan dibuat kursi karena selama ini ia tak memiliki kursi. Hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dengan denda Rp500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan, pada tanggal 23 April 2015.
Kisah ketiga wanita di atas amat mirip, namun di tangan pengadil yang berbeda hukuman kedua wanita yang disebut belakangan jauh lebih berat.
Benar, hukum harus ditegakkan. Tetapi niscaya ada upaya lain selain menghukum seseorang dengan pidana. Hakim dan juga pemimpin yang bijaksana tentunya mengedepankan hati nurani. La Guardia memang hidup di masa lalu, tapi semangat dan keteladanannya menembus ruang dan waktu.
Syukurlah, dewasa ini bermunculan walikota, gubernur, dan pemimpin-pemimpin muda yang sepak terjang dan semangatnya seperti La Guardia. Semoga kehadiran mereka mampu mengubah wajah negeri ini menjadi lebih baik. (Djs – Intisari Oktober 2015)