Mesty Ariotedjo, Dokter Muda Multitalenta (1)

K. Tatik Wardayati

Penulis

Mesty Ariotedjo, Dokter Muda Multitalenta (1)

Intisari-Online.com – Namanya dikenal masyarakat sebagai model dan harpis, namun Mesty Ariotedjo menolak jika kedua hal itu disebut sebagai profesinya. Dua pekerjaan itu menurutnya hanyalah sekadar penyaluran hobi. Dia lebih merasa senang disebut dokter. Mesty Ariotedjo, dokter muda multitalenta ini pernah ditulis dalam rubrik Inspiratif Majalah Intisari edisi Mei 2015, yang ditulis oleh Gita Laras Widyaningrum. Semoga menginspirasi.

--

Ditemui di apartemennya yang cantik di suatu sore, daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, Mesty Ariotedjo menyambut Intisari dengan ceria. Perempuan bernama lengkap Dwi Lestari Pramesti Ariotedjo ini tidak tampak lelah meski sejak pagi berbagai aktivitas sudah dijalani. Hari itu jadwalnya adalah pemotretan untuk sebuah majalah, praktik di klinik, serta mengurus visa untuk keperluannya ke Australia dalam waktu dekat.

Segudang kesibukan Mesty itu masih ditambah lagi dengan aktivitasnya di beberapa komunitas kesehatan dan sosial. “Saya tipikal orang yang banyak mau soalnya,” ujar Mesty sambil tertawa. Alasan lain, dia memang senang mempelajari hal-hal baru.

Di ruang tamu, kita bisa menjumpai piano dan harpa yang biasa Mesty mainkan. Beberapa foto diri saat menjadi model terpajang di meja kerjanya. Di sana justru tak ada atribut yang menandakan profesi yang menjadi prioritas utamanya yakni dokter.

“Pada dasarnya manusia tidak mungkin menjalankan banyak hal, jadi harus memilih mana yang jadi tujuan kita pada akhirnya,” tutur Mesty tentang alasannya memilih untuk lebih dikenal sebagai dokter.

Ingin menolong orang

Keinginan untuk menjadi dokter tidak pernah ada di pikiran Mesty sebelumnya. Beberapa kali ia sempat berganti cita-cita. Namun keinginannya untuk menolong banyak orang, memantapkan keinginannya untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Saya yakin ketika menjadi dokter, kontribusinya nyata ke orang lain yaitu menolong mereka,” tutur dia.

Niat tulus itu antara lain terwujud saat 2012 Mesty berkesempatan melakukan praktik di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Setahun Mesty menjalani status sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng. Rumah sakit itu harus menangani tiga kabupaten sekaligus meski hanya terdapat lima dokter yang bertugas.

Pengalaman bertugas di Ruteng itu sangat membekas di hati Mesty hingga sekarang. Terutama tentang minimnya fasilitas kesehatan yang ada di pelosok. “Setidaknya hal itu juga menjadi catatan saya ketika nanti saya sudah berada di posisi yang lebih tinggi,” tutur dia tentang refleksi dari penugasannya di daerah terpencil.

Berbaur dengan warga di sana juga memberikan persepsi baru baginya mengenai kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Di Ruteng, 24 jam terasa banyak, sedangkan di Jakarta rasanya selalu kurang. Tapi justru dia melihat penduduk di sana lebih bahagia. Bahagia dalam kesederhanaan, papar perempuan kelahiran 25 April 1989 ini.

Kini ketika sudah menjadi dokter di Jakarta, tantangannya sudah jauh berbeda. Karena sudah terpapar berbagai informasi, pasien akhirnya memiliki pemikiran sendiri terhadap penyakitnya seolah-olah mereka lebih ahli dari dokternya. “Sisi positifnya, dokter tertantang untuk lebih pintar lagi. Harus terus belajar agar lebih bisa meyakinkan pasiennya,” kata Mesty yang kini bekerja di empat rumah sakit ini.

Tak puas hanya sekadar menjadi dokter yang berpraktik, Mesty juga terjun langsung di empat komunitas keluarga dengan anak berpenyakit tidak menular. Bergabung dengan komunitas keluarga membuat dia mengetahui kesulitan pasien-pasien dari kalangan tertentu dalam mendapatkan ruang perawatan dan sulitnya mengurus BPJS.

Keaktifan di komunitas itu pula yang membuat Mesty didaulat menjadi satu-satunya pembicara dari Indonesia pada konferensi International Communicable Disease (NCD) – konferensi mengenai penyakit tidak menular pada anak - di Trinidad dan Tobago, pada 2014. “Alhamdulillah, sejak saat itu jadi ada bantuan obat-obatan yang tadinya belum ada di Indonesia,” ucap Mesty bersyukur.

Tawaran tak terduga

Keinginan untuk mempelajari banyak hal, sudah dirasakan Mesty sejak kecil. Melihat ayahnya sering bermain piano, ia pun ingin bisa memainkannya juga. Umur 4 tahun, Mesty mulai berlatih piano. Berlanjut dengan biola, gitar, hingga flute yang akhirnya berhasil ia mainkan dengan mahir. Hanya bermain drum saja yang ia tak bisa.

Saat kuliah tingkat 1, seorang teman memberi informasi mengenai les harpa. Kecintaannya terhadap musik klasik menumbuhkan keinginan Mesty untuk menguasai juga alat petik itu. Awalnya, Mesty sempat ragu karena takut biaya lesnya mahal, namun ia akhirnya memutuskan untuk belajar harpa.

Baru saja 6 bulan belajar, guru les Mesty menawarinya untuk tampil di salah satu acara. Ia pun dengan senang hati menerimanya. Sebenarnya, Mesty tidak berniat menjadikan harpis sebagai kariernya. Ia justru merasa lebih mahir memainkan piano karena sudah mempelajarinya sejak balita. Namun, tawaran untuk bermain harpa justru jauh lebih banyak. “Mungkin karena harpis di Indonesia juga masih jarang dan dianggap unik kali ya,” katanya. Walhasil, kehidupan awal kuliah Mesty pun tidak hanya disibukkan oleh belajar, tapi juga tampil di berbagai acara untuk bermain harpa.

Kuliah tingkat 2, “godaan” lain datang ke Mesty. Saat hadir dalam fashion show Biyan, desainer ternama Indonesia itu tiba-tiba menawarkan Mesty tampil di salah satu fashion show-nya di Kuala Lumpur. Semenjak itulah wajah Mesty tidak hanya meramaikan catwalk saja tapi juga di majalah serta iklan televisi.

Kesibukan di tahun-tahun awal perkuliahannya itu sempat pula mengganggu prestasi akademiknya. Dari yang semula mendapat IPK 4 di semeter pertama, menjadi 3,6 di semester berikutnya. Meskipun begitu, Mesty yang mengaku banyak belajar dari Dian Sastrowardoyo di awal karier modelingnya ini, sangat bersyukur pengalaman itu terjadi di masa awal kuliahnya. Dia lalu memperbaiki nilai-nilainya di semester berikutnya hingga akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.

Mesty tidak menampik, pendapatan sebagai harpis dan model sangat membantu. Ia mengatakan, honor sekali main harpa setara dengan gajinya sebagai dokter umum selama dua bulan. Pendapatan dari kontrak iklan selama setahun, bisa sama dengan gajinya sebagai dokter selama 5 tahun. “Jadi kadang lihat juga risk dan benefitnya,” ungkap Mesty sambil tersenyum.

Memaksimalkan hobi

Selama hobi bermain harpa dan modelingnya bisa mendukung karier Mesty sebagai dokter, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Keuntungan lain - selain pendapatan - yang paling dirasakannya adalah networking.

- bersambung -