Penulis
Intisari-Online.com - Tanya: Mbak Adit, anak saya bersekolah di salah satu sekolah negeri. Sudah agak lama saya mengetahui anak saya sering ikut tawuran. Saya pernah mendapatkan informasi dari pembantu rumah tangga saya bahwa anak saya pulang dengan baju banyak noda darah. Setelah saya paksa untuk menjelaskan, ia mengaku bahwa ia ikut tawuran. Anak saya itu lalu dimarahi habi-habisan oleh suami saya.
Setelah itu saya tidak tahu apakah dia masih suka tawuran atau tidak. Dia selalu bilang kalau tidak pernah tawuran lagi, namun dari pacarnya saya tahu bahwa beberapa kali setelah kejadian itu ia masih suka tawuran. Katanya ikut tawuran di sekolahnya tidak bisa dihindari. Kalau dia tidak ikut, teman-temannya akan mengatakan dia tidak solider dan cupu, lagi pula tetap tidak aman karena kalau ia pulang sendirian ia bisa dikeroyok anak-anak dari sekolah lain.
Sekarang anak saya ada di kelas III SMA, sudah lama saya tidak mendengar ia ikut tawuran. Semoga saja tidak, tapi nilai pelajarannya turun terus. Setelah ada kejadian ada anak meninggal akibat tawuran antardua sekolah negeri di Bulungan (anak saya tidak bersekolah di sekolah ini), saya jadi khawatir lagi jangan-jangan anak saya masih suka tawuran. Apalagi waktu ada berita di surat kabar mengenai sekolah-sekolah mana saja yang sampai saat ini masih sering tawuran.
Apa yang saya perlu lakukan Mbak bila benar anak saya masih suka tawuran ? Karena saya sudah berkali-kali menasehatinya baik secara keras maupun halus.
Yonna
Jawab: Ibu Yonna, pasti rasanya tidak aman ya mengetahui anak kita sering tawuran dan mungkin masih berlangsung sampai saat ini. Namun mempertimbangkan bahwa belum pasti anak ibu masih tawuran, langkah pertama adalah memastikannya. Bisa dengan menghubungi teman-temannya atau sekolah, sekaligus bisa mencari penjelasan lebih dalam kenapa nilainya turun terus. Bila memang ia masih tawuran, segera cari jalan keluar.
Sedikit saya jelaskan fenomena tawuran ini ya Bu Yonna, agar terbayang bagaimana pendekatan dalam melakukan komunikasi dengan anak. Anak di usia remaja punya karakter yang beda dengan orang dewasa dan anak-anak, yang dipengaruhi hormon dan proses menuju matangnya fungsi eksekusi (executive function) pada otak. Ini menjadikan remaja merasa orang di sekitarnya memperhatikan dirinya, membuatnya ingin selalu seperti remaja ideal menurut persepsinya.
Remaja ideal di persepsinya tidak selalu remaja yang baik secara akademis, bisa saja remaja yang gaul dan disukai banyak lawan jenis. Karakter lain adalah konformitas terhadap teman seumurannya. Kalau banyak teman saya ikut tawuran dan baik-baik saja, kenapa saya tidak. Perilaku ikut tawuran bisa muncul dari dua karakter itu.
Bisa jadi di sekolah, siswa yang paling ditakuti sekaligus dihormati adalah yang kuat dan jago berantem. Lalu didukung dengan ketika ia masuk sekolah, teman-temannya sudah banyak yang melakukan tawuran. Jadi, bila ia tidak ikut maka akan dianggap tidak solider dengan teman. Mengubah budaya yang sudah ada di satu sekolah butuh kerja sama dengan sekolah dan orangtua murid. Persatuan orangtua murid dan guru bisa menjadi saluran yang tepat untuk menyatukan banyak persepsi orangtua murid.
Saya yakin tidak hanya ibu yang khawatir namun banyak orangtua murid yang lain. Dengan semangat persatuan, suara orangtua murid ini bisa disalurkan ke sekolah. Bahkan bisa cukup kuat menekan sekolah untuk membuat perubahan. Tentu saja, akan jauh lebih baik, bila perubahan itu diusahakan bersama-sama dengan orangtua murid juga. Beberapa sekolah sukses membangun budaya baru misalnya mereka yang benar-benar satria berantem satu lawan satu atau mewujudkan model rujukan siswa ideal yang eksis melalui ekstra kulikuler seperti basket, cheerleaders, dan sebagainya. Usaha ini efeknya jangka panjang.
Lalu selagi kita berjuang untuk budaya siswa yang lebih baik, Ibu Yonna juga bisa mengajak anak berkomunikasi lebih intensif. Remaja pada dasarnya melakukan itu dalam rangka mencari tahu seperti apa dirinya (real self) dan seperti apa dirinya yang ia inginkan (ideal self). Tanyakan menurutnya seperti apa dirinya. Apakah ia bangga dan puas dengan dirinya saat ini? Lalu apakah dirinya saat ini sudah sesuai dengan yang ideal menurutnya. Semakin jauh perbedaan antara real self dan ideal self membuatnya akan melakukan berbagai cara demi menjadi dirinya yang bukan sebenarnya.
Namun komunikasi ini harus dilakukan dalam posisi setara. Jadilah seperti teman, yang tidak menasehati, tidak melarang, serta tidak menyangkal. Tentu saja rasanya miris ketika mendengar anak kita mengatakan bahwa dia tidak punya kelebihan. Rasanya ingin segera mengatakan itu tidak benar lalu memuji-mujinya. Namun tunggu sampai ia selesai mengatakan semuanya, khususnya apa pendapatnya seseorang yang ideal itu. Bantu anak menerima bahwa kalau saat ini ia belum seperti yang ideal, itu bukanlah kesalahan. Lalu buatlah rencana bersama bagaimana mencapai yang ideal itu didasarkan pada talenta yang ia miliki dan hal yang ia senangi untuk lakukan.
Sebagai referensi, dulu saya pernah punya klien yang melakukan bullying dan sering berantem. Setelah digali ia merasa tidak punya kelebihan, mengikuti pelajaran pun begitu sulit baginya dan memang nilainya konsisten rendah. Ia hanya bisa dan senang dengan bela diri. Ia ingin dihormati selayaknya mereka yang dipuji-puji karena nilainya baik. Saat ini anak tersebut sudah tidak lagi sering berantem (masih di bangku SMA) namun ia menjadi pelatih muay-thai di sebuah gym ternama. Akhirnya anak ini menemukan rasa bangga terhadap dirinya karena di bangku SMA ia sudah bisa mencari uang tambahan sekaligus menyalurkan hobinya.
Seorang teman pernah berkata pada saya, anak tidak melakukan kenakalan, ia hanya melakukan sesuatu yang tidak kita mengerti. (@ign_aditya)
Ada pertanyaan seputar masalah psikologi remaja? Kirim pertanyaan ke sini.