Find Us On Social Media :

Orang Baik pun Mengalami Ketidakberuntungan

By intisari-online, Senin, 13 Februari 2017 | 19:07 WIB

Orang Baik pun Mengalami Ketidakberuntungan

Intisari-Online.com - Tanya: Mbak Adit, baru-baru ini keponakan saya (28) yang sudah lama saya asuh karena orangtuanya meninggal saat ia kecil, mengalami musibah. Setelah pacaran dua tahun, ia dan pacarnya memutuskan untuk menikah. Saya sangat bahagia karena akhirnya keponakan saya menikah. Ia sudah kuanggap anak sendiri karena saya tidak memiliki anak.

Saya pun sangat menyukai pria pilihannya ini. Ia berasal dari keluarga dengan ekonomi yang cukup kuat. Ayahnya pejabat di perusahaan minyak. Ia berasal dari daerah yang sama dengan keponakan saya, Jawa Tengah. Juga taat beragama. Saya bisa melihat kebahagiaan di mata keponakan saya ini setiap kali ia menceritakan tentang detail rencana pernikahannya.

Namun dua bulan sebelum pernikahan berlangsung, calon suami keponakan meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Lama bagi keponakan saya menerima kepergian calon suaminya tersebut. Semua rencana dan bayangan indahnya perkawinan runtuh di depan mata. Saat saya kirimkan surat ini, sudah hampir 1 tahun berselang sejak kejadian tersebut. Keponakan saya sempat pacaran dengan pria lain, namun putus tidak lama setelah ia mengalami sakit ginjal yang membuat satu ginjalnya diambil.

Sesaat sebelum ia didiagnosis sakit ginjal, ia sedang menjalani proses asesmen untuk dipromosikan. Akan tetapi karena ia jatuh sakit, maka promosi jabatan yang ia harapkan sejak 3 tahun lalu tidak bisa ia dapatkan. Dari dulu hingga sekarang, saya sekeluarga berikut keponakan saya tidak pernah berhenti salat; kami memenuhi sembahyang 5 waktu. Kami pun sebisa mungkin tidak berbuat jahat pada orang lain.

Tetangga kami banyak yang menyatakan, betapa naas nasib keponakan saya, mengalami ketidakberuntungan yang tak habis-habisnya. Saya jadi teringat diri saya di masa muda, saya pernah keguguran 4 kali dan sampai sekarang tidak dikaruniai anak. Saya tidak tahu bagaimana harus memandang kehidupan saat ini, berulang-ulang pertanyaan ini muncul dalam batin saya, “apa yang saya lakukan hingga Tuhan mencobai saya dan keluarga saya sebanyak ini”. (Ina, Jakarta, 64 tahun)

Jawab: Ibu Ina, sebelumnya izinkan saya mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas kehilangan calon suami keponakan Ibu dan keprihatian mendalam atas sakit yang diderita keponakan Ibu serta ketidakberuntungannya yang lain. Sampai dengan kuliah semester 2, saya berpikir bahwa bila kita baik pada orang lain, maka kita akan dipenuhi keberuntungan.

Persepsi itu memiliki dampak positif bagi setiap orang, sehingga kita meyakininya sebagai kebenaran. Keyakinan akan hal itu membuat kita memunculkan sikap yang baik terhadap orang lain. Kita menjaga perilaku kita, ramah pada orang lain, berpikir ulang ketika muncul niatan membuat orang lain celaka, tidak melanggar aturan dan sebagainya. Kita berpikir juga bahwa dengan berbuat baik banyak usaha kita akan dilancarkan, mendapat pahala berlimpah dan diterima di surga.

Saya tidak akan membahas mengenai kepercayaan bahwa akan diterima di surga, karena bukan keahlian saya. Namun pada semester 2 saya kuliah, saya ingat benar pelajaran pertama tentang "Psikologi Sosial". Berdasarkan penelitian sistematis, orang cenderung berpikir bahwa nasib buruk hanya terjadi pada orang yang berperilaku buruk. Padahal tidak ada korelasi atau hubungan antara perilaku baik dengan nasib baik.

Jadi, apakah artinya sia-sia kita berbuat baik selama ini? Jelas tidak. Berbuat baik punya dua fungsi, untuk diri sendiri dan orang lain. Fungsi untuk diri sendiri adalah membuat diri merasa nyaman, apakah itu karena value tentang agama atau pun tentang norma sosial yang selama ini kita hayati. Fungsi kedua adalah untuk orang lain, dengan berbuat baik kepada orang lain, kita secara tidak sadar membuat suasana nyaman mungkin malah menguntungkan untuk orang lain.

Bayangkan bila seluruh dunia berisi orang yang ingin berbuat baik, maka kehidupan pasti akan terasa lebih aman dan nyaman. Namun apakah berarti ada jaminan kita terjauh dari musibah? Tidak ada. Saya mengutip salah satu kepercayaan warga Cina, yaitu ada tiga alam dalam kehidupan ini, yaitu bumi (dunia yang lebih besar dari diri kita, yang mempengaruhi kondisi alam), diri kita, dan langit (sesuatu yang lebih besar dari diri kita). Kita hanya mampu mengontrol diri kita tapi tidak bisa mengontrol dunia alam dan langit. Ada beberapa cara untuk mengantisipasi hal yang tidak bisa kita kontrol. Sekali lagi kata-katanya adalah mengantisipasi atau secara sederhana siap sedia ketika hal yang tidak menyenangkan menimpa. Tapi tidak membuat kita bisa mengontrol keadaan itu.

Saya senang Ibu Ina masih takwa terhadap ajaran agama, mudah-mudahan dengan banyaknya kejadian tidak menyenangkan ini tidak mengurangi kepercayaan Ibu pada Tuhan. Terlebih dari itu, penting untuk berusaha mengingat hal-hal baik yang terjadi pada kita ketika kita tertimpa musibah.

Alaminya, manusia akan mengingat hal-hal buruk ketika tertimpa musibah. Ini alamiah, namun memiliki dampak negatif, membuat persepsi terhadap musibah makin buruk dan berdampak parah. Sebaliknya usahakan ingat keberuntungan yang pernah kita rasakan. Selain itu, buatlah antisipasi untuk hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi, seperti memiliki asuransi kesehatan sehingga saat sakit parah, tidak lebih sulit lagi karena tidak ada biaya; bangunlah gaya hidup yang seimbang antara makan makanan sehat, istirahat cukup, olahraga cukup, dan kerja yang smart; serta milikilah banyak teman, saudara, dan kerabat yang bisa menghibur di kala ketidakberuntungan datang.

Semoga membantu, Ibu Ina.