Penulis
Intisari-Online.com - Empat tahun tidak berkunjung ke Banda Aceh bukanlah waktu yang sebentar bagi saya untuk tidak merindukan lezatnya hidangan khas daerah ini seperti ayam tangkap, mi aceh, kuah pli’u, kue timpan serta sederet nama yang susah disebutkan satu persatu karena sedemikian banyak dan semuanya memiliki cita rasa menggugah selera.
Kali ini, usai menikmati matahari surut ke barat di kawasan Ulee Lheue saya layangkan pertanyaan kepada pemandu saya selama berada di Banda Aceh, Muhajir Ilyas Djalil atau biasa disapa Acin, sekiranya adakah hidangan autentik yang bisa dicicip petang itu?
Sederet pilihan dipaparkan Acin dan saya langsung terpikat untuk mencoba Mi Bieng. ‘Bieng’ adalah bahasa lokal untuk menyebut kepiting. Jujur saja, dahulu saya enggan memilihnya karena terkendala cita rasa pedasnya.
Sebagai seseorang yang kurang menggemari hidangan dengan cabai, hal ini bisa menjadi masalah serius. Toh Acin meyakinkan, “Pedasnya bisa disetel sesuai keinginan.”
Saya dan fotografer Rusdi Ilfan dari Auto Expert pun dibawanya ke lokasi pertama yang terkenal dengan sajian ini. Rupanya kami belum beruntung, karena hari itu si kedai tidak menyediakan bieng. Perburuan berlanjut ke kawasan Lhong Raya, masih di seputaran Banda Aceh.
Terbiasa akrab dengan kata ‘Kopi Jasa Ayah’ bila tengah berada di ibukota Provinsi Aceh, saya pun dibuat terkesima karena Acin membawa kami ke kedai mi bieng bertajuk ‘Mi Simpang Ayah.’
“Yang unik, nama asli sang pemilik jarang diketahui,” bisik Acin. “Misterius, begitulah. Tetapi kami, para pelanggannya tahu, bahwa ia berusia 70 tahun, asal dari Darussalam, Aceh Besar dan sudah membuka usaha ini selama sekitar delapan tahun.”
Benarlah janji Acin. Saya dapat memesan mi bieng yang sama sekali tidak pedas cabai, sementara warna merah dihasilkan dari berbagai ramuan rempah sehingga menjamin lidah tidak tersengat.
Zulkarnaini, salah satu pramusaji di Mi Simpang Ayah yang beralamat di Jalan Wedana No 3 Lhong Raya ini menyebutkan, pembeli dapat memilih ragam mi sesuai selera.
Paling banyak kuah disebut mi rebus, yang sangat kering disebut goreng, sementara tengah-tengahnya disebut tumis agak berkuah atau basah. “Tetapi bila ingin mi bieng, paling enak ya direbus, bukan digoreng atau ditumis,” sarannya.
Sementara untuk isian mi, tersedia bieng atau kepiting, udang, daging atau cumi. Untuk menjamin kualitas, mi dibuat sendiri, rata-rata menghabiskan 100 kilogram mi setiap hari, dengan perhitungan satu kilogram mi dapat dijadikan enam sampai tujuh porsi mi kuah, tumis atau goreng.
Hidangan mi bieng kuah kami hadir memesona. Kuah berwarna kemerahan membanjiri piring saji, sementara kepiting lengkap dengan batoknya terlihat mendominasi, mengalahkan porsi mi sebagai bahan utama.
Pelengkapnya adalah acar bawang merah, rajangan cabai hijau serta mentimun. Agar tamu tidak kesulitan menyantap, para pramusaji juga menyediakan alat pemecah cangkang kepiting.
Dalam waktu cukup singkat—kecuali kegiatan menyesap-nyesap cangkang, capit dan berbagai bagian kepiting—hidangan di depan kami pun tandas. Kejadian unik terjadi saat saya menanyai nama sang koki yang bertubuh subur.
“Yang memasak itu namanya Bang Adi, berusia 50 tahun,” jelas Zulkarnaini. “Putra pemilik Mi Simpang Ayah sendiri.”
Saya tersenyum lebar, sudah bisa menduga bahwa bila ingin bertanya nama lengkap sang koki, pasti Acin akan menjawab dengan kata, “Nama lengkap Bang Adi, ya ‘Adi Anak Ayah’.”
(R. Ukirsari Manggalani/nationalgeographic.co.id)