Find Us On Social Media :

Yogya Membangun Budaya Minum Kopi

By Agus Surono, Jumat, 18 April 2014 | 15:00 WIB

Yogya Membangun Budaya Minum Kopi

Intisari-Online.com - Yogya sebagai kota pelajar menjadi tempat bertemunya para mahasiswa dari berbagai penjuru pelosok Tanah Air. Beberapa dari mereka adalah penggemar kopi karena berasal dari daerah penghasil kopi. Misalnya, Jambi, Lampung, Aceh, Bali, Flores, hingga Toraja.

Yogya sendiri juga memiliki produk kopi meski tidak banyak. Salah satunya adalah Kopi Merapi, yang ditanam di sekitar lereng Gunung Merapi dengan sistem organik. Kopi inilah yang diseduh dan disajikan di kedai Kopi Merapi, 7 kilometer dari puncak Merapi, tepatnya di Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Nah, para mahasiswa pembawa kopi ini saling berbagi kopi dengan kawan kos-nya. Dari sini lama kelamaan terbentuk kebiasaan ngopi. Dari serbuk kopi, bukan kopi sachet yang marak di warung-warung.

Kisah Cak Badrun, pemilik kedai kopi Blandongan, menjadi contoh menarik. Badrun yang berasal dari Gresik ini sewaktu mahasiswa kerap membawa kopi dari Kediri dan Malang, lalu ia bagikan kepada teman- temannya. Ternyata banyak yang suka, dan ia pun lantas berpikir untuk membuat kedai kopi. Lahirlah Blandongan pada 2000.

”Waktu itu belum ada kedai kopi yang benar-benar menawarkan kopi bukan instan. Saya ambil biji kopinya dari sortiran pabrik kopi di Jombang. Khusus robusta. Jadi saya meracik sendiri kopinya,” kata Badrun.

Setelah lebih dari 10 tahun, Blandongan tetap bertahan, bahkan makin banyak pengikutnya. Sejumlah kafe menjual kopi sebagai menu utama, sedangkan menu lain hanyalah komplementer. ”Saat ini sudah bisa dibilang minum kopi makin mengultur. Mulai banyak orang suka minum kopi asli, meninggalkan kopi kemasan three in one,” ujar Badrun.

Tanpa gula

Kultur minum kopi yang dibangun oleh Blandongan disambut baik oleh para pemilik kafe dan kedai kopi. Yang paling fanatik adalah Klinik Kopi yang berlokasi di sebuah gang di Jalan Gejayan. Kedai milik Pepeng ini bahkan disebut oleh sejumlah pengunjung sebagai kedai edukasi ngopi.

Pepeng tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga menunjukkan proses roasting biji kopi, menggilingnya, hingga menyajikannya. Dapurnya terbuka, bahkan lebih terbuka dari Starbuck. Ia tidak ragu membuka komputer tabletnya dan menjelaskan kepada tamu-tamunya cara menyajikan kopi yang baik. Ia juga menunjukkan rekaman video saat travelling untuk membeli biji kopi ke sejumlah daerah penghasil kopi.

Pepeng tidak menyediakan gula di kedainya, tapi pengunjung dibolehkan membawa gula sendiri. ”Ngopi dengan gula bagi saya sama dengan mengkhianati kopi, he-he-he. Rasa kopinya menjadi hilang. Saya memang ingin mengajak orang untuk ngopi dengan benar sekaligus mencintai produk Indonesia yang luar biasa ini,” ujarnya.

Ternyata, usaha Pepeng berkembang sejak dimulai pada Juli 2013. Dalam sehari, mulai pukul 16.00 hingga 22.00, ia bisa menjual hingga 80 cangkir dengan harga per cangkir dipatok sama, Rp 10.000.

”Awalnya laku 40 cangkir, sekarang sudah dua kali lipat. Saya sudah bisa beli glinder dua buah dan preso satu buah,” ujar Pepeng, yang melayani sendiri tamu-tamunya sehingga tampak sangat sibuk.