Find Us On Social Media :

Harumnya Mangut Lele Sego Nggeneng

By Agus Surono, Sabtu, 28 Juni 2014 | 09:00 WIB

Harumnya Mangut Lele Sego Nggeneng

Intisari-Online.com - Wisata kuliner di Yogya punya ciri khas yang mungkin sulit dijumpai di tempat lain. Di kota ini, banyak sekali warung yang sudah puluhan tahun dan masih juga dikelola oleh pemilik (asli)-nya yang juga sudah kakek atau nenek. Salah satunya, Sego Nggeneng Mbah Martodiryo.

Bisa ditebak, Mbah Martodiryo-lah pemilik warung legendaris ini. Usianya 78. Saat awal berjualan di usia 24 tahun, ia menjajakan sego (nasi) dari pasar ke pasar dengan pikulan. Sekarang, karena usianya sudah uzur, warungnya ya di rumahnya, di Jln. Parangtritis km. 6,5, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, tepat di selatan kampus Institut Seni Indonesia (ISI). Meski sudah sepuh, setiap hari Mbah Marto masih melayani pembeli.

Warung Sego Nggeneng milik si mbah yang punya nama lain Mbah Gowok ini punya dua menu spesial, yaitu Gudeg Daun Kates (pepaya) dan Mangut Lele. Gudeg Mbah Marto mungkin terkesan nyleneh. Gudeg kok dicampur daun pepaya. Jangan salah sangka.

Daun pepaya yang dipakai Mbah Marto sama sekali tidak pahit. Menurut pengakuan Pariman, putra keempat Mbah Marto, daun ini berasal dari pohon pepaya khusus yang ditanam di tanah lempung. Rasanya berbeda dengan daun pepaya pada umumnya yang pahit.

Gudeg Mbah Marto sendiri jenis setengah basah. Rasa bumbunya sesuai selera Yogya, manis. Pelengkapnya sama saja dengan gudeg lain, yaitu sambal kacang tholo dan rambak kulit sapi. Tapi karena adanya tambahan potongan daun pepaya, rasa gudeg menjadi unik, tidak seperti gudeg kebanyakan.

Semua masakan terhidang di sebuah lincak (kursi bambu). Pengunjung bebas memilih sendiri lauk-pauk dan porsinya. Lauk yang tersedia pilihannya lumayan banyak. Ada Sayur Sambal Kacang Tholo, Opor Ayam Kampung, Sate Keong Mas Bumbu Bacem dan Merica, Sayur Ceker, Mangut Lele, dan Sayur Ati Ampela Kuah Pedas.

Selain gudeg, Mangut Lele juga primadona di warung Sego Nggeneng ini. Tidak seperti mangut biasanya, sebelum dimasak bersama kuah santan gurih dan pedas mirip gulai, lele terlebih dahulu dibakar rmenggunakan serabut kelapa.

Sunduk (tusuk) yang digunakan untuk membakar sedikit istimewa yaitu pelepah kelapa, bukan bambu biasa, sehingga tidak lengket dengan leienya karena pelepah kelapa tersebut mengeluarkan minyak saat dibakar. Asap yang berasal dari pembakaran tadi menjadikan lele memiliki aroma yang khas.

"Memang terasa sangit (gosong), tapi itu malah menjadi sensasi tersendiri saat disantap," kata Budi, seorang pelanggan.

Lele yang selesai dibakar tadi kemudian dimasak lagi dengan kuah pedas. Cita rasanya, gabungan antara lele yang sedap dengan rasa pedas-gurih kuah santan. Kulitnya sedikit terasa sangit. Dagingnya gurih dan empuk. Kuahnya meresap ke dalam daging.

Kuah mangut yang gurih dan pedas tadi makin terasa sempurna dinikmati dengan nasi putih hangat yang asapnya masih mengepul. Wuih... nikmat! Sebagian orang menjuluki masakan ini sebagai mangut lele asap. Lezat. Khas aroma pedesaan.

Sekalipun tiap hari harus kecapekan melayani pembeli, kakek dengan enam anak, 14 cucu, dan dua cicit ini tetap terlihat bersemangat.