Find Us On Social Media :

Kris Biantoro: Masuk RS Pertama Kali

By Agus Surono, Jumat, 24 Juni 2011 | 17:00 WIB

Kris Biantoro: Masuk RS Pertama Kali

Karena TVRI, yang waktu itu masih satu-satunya televisi, nama saya dikenal ke seluruh Indonesia. Selain penampilan rutin di layar kaca, saya juga kebanjiran pekerjaan untuk tampil secara off air. Pelbagai perhelatan dan panggung pertunjukan saya jalani nyaris setiap hari. Rezeki saya tetap melimpah namun penyakit saya makin parah. Saya makin intensif berinteraksi dengan suntikan morfin setiap kali "serangan fajar" sakit ginjal muncul. Profesor Sidabutar, ahli ginjal dari RS PGI Cikini, menyatakan fungsi ginjal saya tinggal 25% saja.

Rasa sakit memang datang dan pergi. Ketika tidak ada serangan, badan saya sangat fit untuk bekerja. Tak banyak orang tahu bahwa ginjal saya hanya bekerja seperempat bagian. Dalam kondisi itulah saya mendapat tawaran main film pertama kali. Laki-laki Pilihan, judul film di tahun 1975 itu, disutradarai oleh Nico Pelamonia. Rupanya peruntungan saya berlanjut. Sutradara Turino Junaedi menawari saya main dalam film komedi Si Manis Jembatan Ancol. Pemeran utamanya bintang muda yang cantik jelita, Lenny Marlina, dan dalam cerita saya harus beradegan ranjang dengan dia.

Terang saja saya yang bertubuh subur ingin langsing supaya tidak memalukan. Datanglah sebuah saran agar saya menjalani "diet macan". Tanpa pikir panjang, saya menuruti nasihat itu demi tubuh ideal. Selama dua bulan saya hanya makan daging dan air putih, seperti macan. Hasilnya, ginjal saya makin soak karena sebenarnya orang yang sakit ginjal harus mengurangi asupan protein. Ketika syuting film dimulai, ternyata badan saya tetap tambun - seranjang dengan Lenny Marlina membuat hati saya geli. Sakit ginjal tak seberapa terlihat dan terasa kecuali muka saya yang sembap dan kaki menggelembung berair. Bila dipencet, kulit yang cekung tidak cepat kembali.

Selain diet macan, kepada saya juga berdatangan "bisikan syaiton" yang, herannya, saya turuti tanpa mencari informasi tambahan. Diet minum air, diet minum bir seliter sehari, dan beberapa diet lain. Padahal bir justru merusak ginjal.

Karir saya sedang di puncak ketika ginjal saya tak lagi kuat menopang aktivitas. Itu terjadi tahun 1977. Tanpa ampun, saya terpaksa dirawat di RS St. Carolus Jakarta.

Ada satu pengalaman yang betul-betul menyiksa batin: saya diminta puasa berbicara. Bayangkan, seorang penyanyi, MC, dan komunikator yang mengandalkan mulut, harus tutup mulut!

Ternyata itu pun tidak cukup. Saya harus menjalani perawatan yang menggelikan sekaligus menjengkelkan, namanya Lavement Treatment. Namanya indah betul. Tapi tak tahunya saya disuruh menungging, lalu ke dalam anus saya dimasukkan selang yang kemudian dialiri cairan. Waduh ... rasanya!

Meski begitu, treatment itu ternyata membawa hasil baik. Rasa sakit hilang, bahkan dalam kurun 10 tahun kemudian kehidupan saya relatif tenang, tak pernah terganggu lagi "serangan fajar". Baru 22 tahun kemudian saya menjalani terapi pemecahan batu ginjal di RS Mitra Keluarga, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Batu-batu ginjal saya ditembak dengan sinar laser sampai hancur. Ukuran butirannya cukup besar, bermacam-macam, tergantung komposisi zat-zat pembentuknya. Setiap penanganan disesuaikan dengan jenis batunya.

Meski dalam keadaan terbius agar tidak merasakan sakit, lewat layar monitor saya bisa melihat aktivitas penghancuran batu-batu ginjal oleh tembakan sinar laser. Bunyi "Dar! Dor! Dar! Dor!" mengingatkan saya pada senapan rampasan dari Jepang bernama Teki Danto di zaman revolusi dulu. Bunyi itu sangat khas dan menggetarkan, dan nama Teki Danto memang menakutkan.(Bersambung ...)