Find Us On Social Media :

Museum Sonobudaya, Merenda Sejarah Nusantara

By Agus Surono, Jumat, 3 Oktober 2014 | 17:00 WIB

Museum Sonobudaya, Merenda Sejarah Nusantara

Intisari-Online.com - Di bawah pohon sono, museum ini hendak mewariskan bahan ajar kepada generasi penerus betapa tinggi dan beragamnya budaya Nusantara.

Thomas Karsten bisa jadi orang Belanda yang sangat Indonesia. Walaupun berpendidikan Eropa, tapi semangatnya dalam mempelajari budaya Nusantara mampu mengalahkan warna kulitnya. Bersama P.H. W. Sitsen dan Koeperberg ia menjadi anggota Panitia Bersama Perencanaan Pendirian Museum Java Institut tahun 1913.

Java Institut adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berdiri tahun 1919 di Surakarta. Tugasnya mengumpulkan data dan artefak budaya dari Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Saat koleksinya sudah lengkap, museum menjadi pilihan untuk menyajikan kepada publik agar masyarakat bisa mempelajari dan melestarikan koleksi tersebut.

Dinamakanlah museum tadi Museum Sonobudoyo: Sono yang berarti pohon sono dan budoyo berarti kebudayaan. Memang, di halaman museum tumbuh pohon sono yang rindang.

Menggunakan tanah hibah dari Sultah Hamengkubuwono III, Karsten dan tim merancang museum sesuai dengan semangat pelestarian. Joglo museum dirancang bergaya Cirebonan. Sosoknya mengingatkan akan bangunan Masjid Kanoman Cirebon dengan atap Limas Lambang Tumpang Sarinya.

Di gerbang Museum Sonobudoyo tertulis candra sengkala "Kayu Kinayang Ing Brahmaning Buddha " yang menunjukkan peresmian museum pada tahun Jawa, tepatnya 6 November 1935.

Tak hanya koleksi museum yang bisa dilihat. Beberapa burung yang bersarang di pucuk pohon sono di halaman museum bisa menjadi tontonan tersendiri. Ketika terjadi gempa Mei 2006 pendopo ini sempat rusak ringan, tapi sekarang sudah direnovasi. Sedikit cerita mistis berembus.

Konon, tiap malam tertentu gamelan di dalam pendopo, Gamelan Mega Mendung dan Gamelan Kyai dan Nyai Riris Manis berkolaborasi bermain musik. Nada pelog dan slendro mengalun malam-malam di sekitar Alun-alun Utara.

Memasuki lebih dalam bangunan, artefak besar dari Bali, Madura dan Lombok menghiasai sudut ruangan. Koleksi baju-baju adat nusantara menjadi sajian koleksi museum. Melihat detail dan lipatannya, tercetus pertanyaan bagaimana membuat hal itu dengan peralatan sederhana pada masanya.

Tak hanya baju yang bercita rasa tinggi, peralatan makan dari perak dan tembaga, perhiasan, patung, wayang, dan yang istimewa ialah keris. Konon, untuk membuat keris harus dimulai dengan ritual tertentu; ada puasa, penentuan jam dan tanggal baik, pemilihan bahan nomer satu, dan menyesuaikan dengan karakter pemesan. Pokoknya semua direncanakan dengan matang, termasuk cara perawatannya.

Keris yang terkenal tentu kerisnya Mpu Gandring dengan legendanya. Keris ini diyakini menghabisi Anusapati dan Ken Arok. Tak hanya senjata, tapi keris juga jadi simbol status kebangsawanan. Salah satu koleksi keris Museum Sonobudoyo yang spesial adalah keris Wesi Buddha yang termasuk keris yang paling tua. Keris ini dibuat pada tahun 700, saat Mataram Hindu berkuasa.

Lebih dari 1.200 keris bisa dilihat, termasuk dengan tangkainya yang unik. Ada gambar naga, macan, ular, elang, dan manusia. Beberapa foto langka yang memperlihatkan bagaimana keris dibuat juga dipamerkan. Zaman segitu tentu membuat kerisnya manual, memakai tangan!