Mencicipi Cuka di Komplek Candi-Candi Padanglawas

Moh Habib Asyhad

Penulis

Mencicipi Cuka di Komplek Candi-Candi Padanglawas

Intisari-Online.com -Sebelum melangkah mengunjungi candi-candi Padanglawas, sebetulnya kita bisa bergoyang lidah dulu. Hidangan istimewa dari sub-sukubangsa Angkola dan Mandailing di daerah itu berupa olahan ikan mas bakar dengan racikan bumbu kelapa parut dan balakka, tanaman lokal yang banyak dijumpai di Padanglawas.

Lebih istimewa lagi, menu ikan mas itu dilengkapi pucuk rotan yang telah dibakar dan dikuliti. Warnanya putih. Rasanya, coba sendiri deh. Yang jelas agak pahit, meski ada yang bilang pahit sekali. Dibubuhi perasan jeruk nipis dan kecap asin, pucuk rotan muda itu terasa nikmat. Nah, kalau sempat mampir juga di kedai pinggir jalan sebelum melihat-lihat candi, pesanlah holat. Menu ini sudah tersaji di meja kedai.

Masyarakat setempat punya kebiasaan unik, minum cuka! Bukan cuka teman acar, tapi ini istilah lokal untuk menyebut tuak. Kebiasaan penduduk daerah ini minum tuak sudah dilakukan turun-temurun sejak dulu kala. Pokoknya, setiap acara adat terasa kurang lengkap tanpa tuak, terutama jika sedang dilaksanakan pesta-pesta besar.

Tradisi masyarakat setempat juga menempatkan kerbau sebagai binatang yang berpengaruh. Dalam adat setempat, kerbau merupakan simbol status sosial. Kehormatan besar akan diperoleh dari masyarakat, jika seseorang sanggup menyembelih seekor kerbau pada acara adat tertentu. Dalam perkawinan, si mempelai berhak atas gelar tertentu yang dipersembahkan oleh adat, jika dalam pesta itu disembelih empat jenis binatang sekaligus: ayam, kambing, sapi, dan kerbau.

Apa gelar yang diperoleh? Sebetulnya bukan gelar, tapi hak untuk melaksanakan pesta margondang. Sebuah pesta yang dilengkapi dengan acara bergendang, berwujud lantunan-lantunan nasihat yang dilagukan untuk mempelai, juga manortor (menari tortor). Saking pentingnya peranan kerbau dalam adat, tak heran kalau harganya jauh lebih tinggi dari harga seekor sapi.