Pengadilan Seolah Tak Berdaya Di Hadapannya, Raymond Westerling Akhirnya Takluk Oleh Gagal Jantung Pada 26 November 1987

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Raymond Westerling seolah kebal hukum bahkan dilindungi oleh otoritas Belanda. Tapi penjahat perang paling kejam itu akhirnya takluk oleh gagal jantung.

Intisari-Online.com -Orang Indonesia mengenalnya sebagai penjahat paling brutal, dialah Raymond Westerling.

Selain dikenal sebagai perwira militer Belanda yang haus darah, Westerling juga tampaknya "kebal" hukum.

Bahkan pemerintah Belanda pun melindunginya.

Westerling merupakanpemimpin pasukan elite Belanda yang dikenal sangat kejam.

Dia disebut sebagai dalang genosida di Sulawesi Selatan pada 1946-1947.

Peristiwa pembantaian itu dikenal sebagaiPembantaian Westerling.

Puluhan ribu nyawa meregang nyawa di tangannya dan pasukan yang dia pimpin, Depot Speciale Troepen (DST).

Tak hanya itu, Westerling juga bertanggung jawab atas percobaan kudeta dan teror Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung.

Pemberontakan itu sendiri menyebabkan gugurnyabeberapa pasukan Divisi Siliwangi.

Walau telah melakukan genosida selama masa revolusi fisik di Indonesia hingga mendapatkan kecaman dari berbagai negara, Westerling masih dilindungi Belanda.

Di Belanda dia bahkan dianggap sebagai pahlawan.

Nama lengkapnyaRaymond Pierre Paul Westerling.

Dia lahir di Istanbul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou.

Meski keturunan Belanda asli, dia lahir dan besar di Turki.

Saat usianya 19 tahun,dia meninggalkan tanah kelahirannya untuk masuk dunia militer.

Pada awal Perang Dunia II, Westerling ikut dalam pasukan Australia di sekitar Timur Tengah, sebelum akhirnya berangkat ke Kanada untuk bergabung dengan pasukan Belanda.

Di Kanada, dia mendapatkan pendidikan dasar militer.

Dalam rangka penyerbuan ke Eropa, Westerling memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia.

Selama di Skotlandia, Westerling mendapat beberapa pelatihan, mulai dari perkelahian tangan kosong, penembakan senyap, membunuh tanpa senjata api, dan masih banyak lainnya.

Karena menguasai ilmu gulat dan membunuh senyap, ia sempat dipercaya untuk menjadi asisten pelatih dengan pangkat kopral.

Namun, pada 1943, Westerling mengundurkan diri dari posisinya itu karena memilih untuk bergabung bersama beberapa sukarelawan Belanda ke India.

Di India, Westerling cukup kecewa karena tidak pernah dikirim ke garis depan medan pertempuran.

Pada 1945, ia diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen (DST) yang berjumlah 120 orang, dan dikirim ke Indonesia.

Pembantaian Westerling Raymond Westerling pertama kali mendarat di Indonesia, tepatnya di Medan, pada September 1945 sebagai anggota KNIL (angkatan perang kolonial Hindia Belanda).

Setelah membebaskan tawanan perang Belanda di Medan, ia ditugaskan ke Jakarta untuk melatih pasukan khusus DST yang terdiri dari orang Belanda dan Indonesia.

Pada Desember 1946, Westerling diberikan misi untuk menghancurkan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan.

Dalam menjalankan tugasnya, Westerling menggunakan caranya sendiri dan mengabaikan pedoman pelaksanaan bagi tentara.

Aksi pertamanya dilakukan pada 12 Desember 1946, dengan menyisir Kampung Batua dan menangkap beberapa orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.

Dia lalu memerintahkan membantaiorang-orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan tersebut di hadapan masyarakat.

Itu adalah permulaan dari teror yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya selama tiga bulan berikutnya.

Pasukan Westerling melakukan teror dengan menyiksa orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan di depan keluarganya sebelum akhirnya dibunuh.

Selain itu, Westerling dan pasukannya juga melakukan teror dengan membakar rumah warga dan melemparinya dengan granat.

Teror yang dilakukan Westerling sebagai pemimpin pasukan DST menelan korban sedikitnya 40.000 orang.

Pembunuhan yang dilakukan oleh Belanda terhadap ribuan rakyat sipil yang berada di Sulawesi Selatan ini kemudian disebut sebagai Pembantaian Westerling.

Apa yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya itu mendapat tepuk tangan dari pemerintah Belanda.

Tapi perlahan-lahan, muncul aduan bahwa selama Westerling menjalankan misinya, banyak ditemukan kasus pelanggaran HAM.

Di titik inilah Westerling, oleh pers, dituding mempunya kekejaman yang sebanding dengan polisi rahasia di zaman Hitler.

Untukmenghindari tuntutan ke pengadilan militer, pemerintah Belanda memilih untuk memberhentikan Westerling pada 16 November 1948.

Aksi Westerling ternyata tak berhenti di Sulawesi.

Setelah diberhentikan,Westerling diketahui membangun sebuah organisasi rahasia yang dinamakan Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI) serta memiliki pasukan yang bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Kelompok Westerling ini kemudian melakukan teror dan upaya kudeta pada 23 Januari 1950 di Bandung.

Dalam teror tersebut, Westerling beserta pasukan rahasianya membunuh setiap TNI yang mereka temukan.

Akibatnya, sebanyak 94 TNI dari Divisi Siliwangi, termasuk Letnan Kolonel Lembong, tewas.

Kekejaman yang dilakukan Westerling mendapat perhatian dari media internasional sekaligus kecaman dari para pejabat di berbagai negara.

Westerling lalubersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat di sekitar Jakarta.

Aksinya pun dibantu oleh operasi rahasia yang diketahui oleh petinggi Belanda di Indonesia.

Pada Februari 1950, Westerling dan keluarganya diselundupkan ke Singapura.

Operasi ini bocor ke media Perancis, yang mengakibatkan Westerling ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura dan sempat diadili di Pengadilan Tinggi Singapura pada 15 Agustus 1950.

Tapi hakim tidak mengabulkan permohonan pemerintah RIS untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia.

Bahkan Westerling berhasil bebas pada 21 Agustus 1950 dan kemudian pergi ke Belgia dengan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag.

Dua tahun kemudian, Westerling masuk ke Belanda dan terus dilindungi oleh pemerintah negaranya agar terbebas dari pengadilan.

Namun, tidak lama kemudian, Westerling kembali berulah dengan menghina Presiden Soekarno hingga mendapat protes dari Komisaris Tinggi Indonesia.

Lagi-lagi, pengadilan Belanda membebaskan Westerling tanpa tuntutan apa pun.

Setelah aksinya berhenti diusut dan berhenti dari dunia militer, Westerling hidup di Belanda dan beberapa kali harus berganti pekerjaan.

Dia sempat menulis buku dan pada akhirnya memiliki sebuah toko barang antik di Amsterdam.

Pada 26 November 1987, Raymond Westerling meninggal karena gagal jantung.

Artikel Terkait