Penulis
Dalam satu kawasan perumahan bisa dihasilkan sekitar 80 - 100 ton sampah per hari. Total sampah Kota Jakarta sendiri bisa mencapai 6.200 ton per hari. Bisa dibayangkan jika semua sampah itu diangkut ke suatu tempat untuk didaur ulang atau disulap jadi listrik, butuh ratusan truk yang hilir mudik setiap hari. Dari sini saja terjadi pemborosan bahan bakar, belum baunya yang mencemari lingkungan. Nah, jika sampah-sampah itu dipilah dari komunitas terkecil, yakni rumah tangga, akan diperoleh penghematan yang sangat banyak. Ada yang memperkirakan bahwa jika program 3R (reduce, reuse, recycle) dilaksanakan dengan benar, sampah rumah tangga akan berkurang sampai 90%.
Ada banyak cara dan metode untuk mengolah sampah rumah tangga. Mulai dari yang tradisional dengan dibakar sampai yang modern seperti biopori dan menggunakan Keranjang Takakura (KT). Selain praktis, keranjang takakura menawarkan pengolahan sampah yang tidak bau. Teknologi Keranjang Takakura bisa mengurangi sampah organik rumah tangga antara 50% dan 75%.
Nama resmi Keranjang Takakura adalah Takakura Home Method. Nama Takakura diambil dari mikrobiolog yang mengembangkan sistem ini, Koji Takakura. Di Indonesia teknologi ini dikembangkan melalui riset bersama Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya), Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Surabaya, Kitakyusu International Techno-cooperative Association (KITA), dan Pemerintah Kota Kitakyusu, Jepang.
Metode KT adalah mengembangkan bakteri lokal untuk mengurai sampah domestik. Pusdakota Ubaya melakukan riset untuk menemukan bakteri sejak 2004. akhirnya ditemukan natural effective microorganism (NEM) sebagai bakteri pengompos. Mikroba ini selanjutnya dibiakkan dengan bahan-bahan lokal berupa air tebu, bekatul, dan lain-lain. Mikroba ini secara efektif dan cepat mengurai sampah organik rumah tangga menjadi kompos di dalam keranjang.
Reaktor KT berupa keranjang berkapasitas 60 liter. Anda dapat memindahkannya ke mana saja asalkan tempatnya kering, tidak terkena hujan atau cahaya matahari langsung. Beragam keranjang bisa digunakan. Yang penting keranjang harus berlubang-lubang karena proses pengomposan dalam metode ini termasuk jenis pengomposan aerobik alias membutuhkan udara untuk pertumbuhan mikrobanya.
Satu keranjang bisa memuat sampah organik dari keluarga beranggota tujuh orang. Setelah diisi dengan 8 kg starter (NEM padat), keranjang ini siap menampung maksimal 1 - 2 kg sampah rumah tangga per hari. Mulai dari sisa sayuran, kulit buah yang tipis, nasi, ikan, ayam, hingga cangkang telur. Agar maksimal pengomposannya, semua sampah tadi dibuat dalam bentuk kecil. Bila KT diaplikasikan dengan benar tidak akan ada belatung. Belatung adalah larva dari lalat, sedangkan lalat datang hanya bila sampah menimbulkan bau. Bantalan sekam yang diletakkan di bagian bawah dan atas keranjang dimaksudkan untuk menangkap kelebihan air, mengatur kelembapan, dan menjaga pasokan udara.
Agar bakteri betah dan melakukan tugasnya dengan baik, jaga kondisi reaktor tetap ideal. Pantau suhu dalam keranjang secara teratur agar mencapai angka sekitar 60o C. Kalau kondisi materi kompos terlalu kering, perciki dengan air, kemudian aduk rata. Masukkan sampah organik secara terus menerus hingga keranjang mendekati penuh. Setelah penuh biarkan beberapa hari sehingga semua materi menjadi kompos secara merata.
Kompos hasilnya akan berwarna hitam, berbau seperti tanah, dan tidak basah. Jika sudah menjadi kompos, panen sepertiga isi keranjang. Sisanya digunakan sebagai starter lagi untuk pengomposan berikutnya. Matangkan hasil panen di halaman yang terlindung sinar matahari selama dua minggu. Setelah itu bisa digunakan sebagai pupuk tanaman.
O ya, bagi yang mau tidak repot menyiapkan alat dan bahan dapat membeli langsung KT dari Pusdakota Ubaya. Saat ini harganya Rp 95.000,-, belum termasuk ongkos kirim. Silakan hubungi Pusdakota di 031-8474325, fax: 031-8474324, email: office@pusdakota.org.
Mari, kita bantu Pemkot mengelola sampah. Dari rumah, mulai sekarang.
(Sumber: Intisari Extra Go Green)