Penulis
Intisari-Online.com – Di tempat sampah kota besar, botol plastik bekas menggunung terus makin tinggi dan tak dapat hancur bersama sampah yang lain. Masyarakat Jepang (dan kita juga sedikit-sedikit) merasa cemas bahwa tempat pembuangan sampah akhir (TPA) nanti hanya tersisa sedikit, dengan umur penggunaan hanya 10 tahun. Apakah sesudah itu kita jadi terpaksa hidup berdampingan dengan sampah yang tidak mempunyai TPA lagi?
Tidak! Orang Jepang (dan mestinya kita juga di Indonesia) berusaha mati-matian menghentikan peningkatan sampah plastik itu dengan pendauran ulang. Itu semua nenek-nenek juga sudah tahu! Tapi mungkin yang belum diketahui ialah daur ulang di Jepang itu dilakukan secara besar-besaran, dengan melibatkan seluruh rakyat lengkap dengan undang-undang yang disetujui DPRD segala. Yaitu UU Pengumpulan Sampah Terpilah dan Daur Ulang Kaleng dan Kemasan. Sebagai negara hukum, mestinya kita juga pantas menciptakan undang-undang sampah semacam itu.
Dalam undang-undang itu diperjelas tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan produksi, dan para konsumen. Para konsumen bertanggung jawab untuk memilah-milah sampah masing-masing (sampah basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas), sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang. Pabrik pendaur ulang ini bertanggung jawab untuk mendaur ulang bahan yang sudah dipilah-pilah dan dikumpulkan itu.
Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT, pasar swalayan (yang lebih bisa diatur daripada pasar tradisional), kantor-kantor, hotel, dan apartemen. Untuk tiap bahan disediakan bak sampah tersendiri, sehingga rakyat yang sebelumnya sudah diberi penerangan dan buku panduan tinggal memasukkan bahan yang bersangkutan ke bak khusus ini. Tidak dicampur-aduk seperti sampah rumah tangga“primitif” sebelumnya.
Sudah sejak dari rumah masing-masing, sampah penduduk kota dipilah-pilah menjadi sampah basah dan sampah kering. Sebenarnya, ini juga sudah kita lakukan di wilayah tertentu di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tetapi rumah tangga penduduk Kotamadya Fujiyoshida di Propinsi Yamanashi, melangkah lebih maju dengan menyediakan bak sampah kering hasil pemilahan lebih lanjut di rumah masing-masing. Ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak untuk kertas. Sesudah penuh, sampah masing-masing kategori itu dibawa ke tempat pengumpulan kepunyaan pemerintah kota.
Pemerintah kota ini menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang sudah terpilah itu. Di Jakarta juga ada mobil-mobil sampah, tetapi yang dipunguti masih sampah campuran.
Selain memudahkan rakyat membuang sampah yang sudah terpilah, pemerintah kota Fujiyoshita juga mengedarkan buku panduan melalui para tokoh masyarakat dan mendirikan badan konsultasi kalau ada rakyat yang memerlukan penyuluhan bagaimana caranya berpartisipasi dalam gerakan yang sudah diberi undang-undang itu.
Plastik hasil pengumpulan itu dijadikan serpihan “plastik daur ulang”, yang kemudian dipakai untuk membuat barang plastik generasi baru, seperti botol (lagi), karpet, filter air.
Kertas bekas seperti sobekan karcis kereta api, koran bekas, dan kertas komputer bekas dijadikan pulp untuk membuat kertas toilet dan karton pengemas (lagi). Dus kemasan semacam ini biasanya diberi tulisan jelas: Dibuat dari kertas daur ulang. (Intisari)