Penulis
Intisari-Online.com - Tepuk tangan riuh mengakhiri sajian musik dari pria-pria berbaju putih di kantin Pusat Studi Jepang (PSJ), Kampus Universitas Indonesia, Depok. Penonton terpesona oleh alunan suara alat-alat musik yang menyerupai suara-suara alam, yang kadang terdengar fals. “Lagian wajar aja kalau fals, namanya juga dari sampah,” ujar Dodong Kodir, pemimpin dari kelompok yang memperkenalkan diri sebagai Lungsuran Daur.
Dodong yang pensiunan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini bercerita bahwa berbagai karya tersebut dapat tercipta karena kebiasaannya yang “suka ngulik dari usia muda.” Dodong senang coba-coba membuat suara-suara yang tidak dapat diperoleh dari alat musik yang ada.
Hasil ngulik-nya tidak sekadar alat musik, tapi juga undangan “mentas” di kampus-kampus atau gedung-gedung kesenian, mulai dari Indonesia hingga keliling dunia, tentunya dengan hanya berbekal “sampah”. Beberapa negara yang pernah dia kunjungi adalah Amerika Serikat, Denmark, Jepang, Spanyol, Prancis, Yunani, dan Belgia.
Ketika ditanya tentang urutan alat musik buatannya yang berjumlah lebih dari 100 buah tersebut, sosok kelahiran Tasikmalaya, 8 November 1951 ini mengaku tidak bisa mengingat persis, “Yang jelas setiap kejadian yang aheng (baca: besar atau heboh) saya selalu membuat suatu alat musik untuk mengenangnya,” ucapnya.
Dia memberi contoh “Sagara”, sebuah alat musik berbentuk segi empat dengan sebuah lingkaran dari sampah bingkai jam dinding di tengahnya serta berisi butiran kecil besi-besi dari roda sepeda. Alat musik yang dapat menirukan suara ombak di laut ini dibuatnya untuk mengenang terjadinya bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004. Dia tidak ingat kapan persisnya alat tersebut dibuat, yang jelas tidak lama setelah terjadinya tsunami.
Sagara, beserta alat-alat musik lain yang dibuat oleh ayah tiga orang anak ini, dibuat dengan tujuan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Walau pada awalnya suara-suara yang muncul dari alat-alat musik ciptaannya seperti suara tornado, longsoran tanah, petir, harimau, kicauan burung, kokok ayam ataupun suara lalat tersebut dibuat tanpa tujuan apa pun. Namun, belakangan ternyata suara-suara tersebut membuat Kang Dodong merasa bahwa, “Jangan-jangan limbah juga menghimbau kepada kita,” hingga dia memutuskan untuk peduli pada masalah lingkungan.
Kesadarannya terhadap lingkungan ini berlanjut dengan membentuk sebuah grup pengalun alat-alat musik berbahan baku sampah atau barang bekas dengan nama “Lungsuran Daur” tadi, yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “daur ulang”. Harapan dibentuknya grup tersebut adalah agar orang-orang tergugah dan peduli akan kelestarian lingkungan bila mengetahui bahan baku dari alat-alat musik tersebut.
“Urang mah euy teu bisa tanaga, urang mah lewat seni we lah” (saya sih gak bisa nyumbang tenaga, jadi melalui seni saja), Kang Dodong berujar ketika ada pihak yang mengajaknya untuk terlibat dalam acara pelestarian lingkungan. Dia berkeyakinan semua orang mampu untuk menyelamatkan lingkungan dengan cara dan kemampuannya masing-masing.