Permakultur, Lebih dari Sekadar Bertani Organik

Rusman Nurjaman

Penulis

Permakultur, Lebih dari Sekadar Bertani Organik

Intisari-Online.com - Setengah abad silam, jagat Amerika Serikat digegerkan kemunculan sebuah buku berjudul The Silent Spring. Buku karya ilmuwan Rachel Carson itu berhasil mengungkap dampak penggunaan insektisida dichloro-diphenyl-trichloro-ethane (DDT) yang memberangus keanekaragaman hayati dan merusak tanah. Kelahiran buku ini kemudian dikenal sebagai tonggak awal kebangkitan gerakan lingkungan. Insektisida sendiri akhirnya dilarang pada 1972, meski efek kimianya masih berlangsung hingga sekarang.

Menyadari efek penggunaan asupan kimiawi yang merusak, sebagian petani lalu beralih pada pertanian organik. Cara ini dinilai lebih ramah lingkungan. Dalam kenyataannya, cara bercocok tanam seperti ini pun masih tergolong pinggiran. Revolusi hijau membuat petani mengalami ketergantungan terhadap pestisida. Cara-cara bertani tradisional, betapa pun secara ekologis lebih bisa dipertanggungjawabkan, sudah lama terkubur dalam ingatan.

Adapun yang menempuh jalur organik memang berhasil lolos dari ketergantungan tersebut. Mereka tidak menggunakan obat-obatan kimiawi atau nitrat untuk mengolah lahan pertanian mereka. Singkatnya, cara organik ini bisa dikatakan berhasil melestarikan tanah.

Adalah Bill Mollison, ekolog asal Australia, yang secara jeli menunjukkan keterbatasan pertanian organik. Menurut dia, pertanian organik tidak perlu menghubungkan berbagai komponen yang sesungguhnya saling bertaut. Selain mengikis lahan, mereka yang menekuninya juga sama sekali tidak memperhitungkan energi yang digunakannya. Mollison mencontohkan, sebagian petani bisa saja mendirikan rumah demplot (idiotic houses) yang boros energi demi meningkatkan hasil panen tanaman pangannya. Petani organik yang sangat fanatik bahkan bisa saja memindahkan ganggang laut yang didatangkan dari tempat yang berjarak hingga ribuan mil jauhnya.

Petani lebih sejahtera

Sebagaimana dikisahkan John Madeley dalam Hungry for Trade: How the Poor Pay for Free Trade, Mollison kemudian menggagas cara bercocok tanam baru yang disebut “metode permakultur” (permakultur = permanent agriculture). Terbukti, cara ini tidak hanya bisa menjaga kelestarian tanah dan mengurangi pemborosan energi. Lebih dari itu, metode permakultur bahkan memacu peningkatan hasil tanaman pangan.

Segala yang terkait dengan metode permakultur dapat diringkas ke dalam beberapa pokok berikut.

Jelas, metode permakultur bakal mendorong peningkatan kesejahteraan material petani. Keuntungan bersih dari hasil panen yang diterima lebih besar. Sebagian anggaran yang semula dialokasikan untuk belanja pupuk kimia, misalnya, kini bisa masuk ke kantong mereka.

Selain itu, metode permakultur juga menentang pembabatan hutan untuk pertanian monokultur (kedelai, sawit, atau tanaman lainnya). Model monokultur tidak sejalan dengan etika pelestarian Bumi yang menjadi sandaran nilai cara bertani permakultur. Model monokultur berandil besar terhadap kepunahan aneka ragam spesies dan mengundang malapetaka besar bagi planet ini.

Demikianlah, kemunculan permakultur merupakan alternatif baru untuk meretas berbagai kebuntuan dalam bertani.