Penulis
Intisari-Online.com – Saya agak kaget ketika suatu hari menghadiri undnangan perkawinan seorang teman. Tanda terima kasih yang diberikan oleh penerima tamu bukan berbentuk barang, tapi sebuah tanaman dalam pot! Wah, mentang-mentang pengantinnya aktivis lingkungan, tanda terima kasihnya pun berhubungan dengan lingkungan, batin saya. Bagaimanapun, boleh juga idenya.
Gagasan unik juga dilakukan ayah saya ketika kami, anak-anaknya, berulang tahun. Bukan hadiah dalam kardus tertutup kertas warna-warni cerah yang diberikan, melainkan tanaman dalam pot. Tanaman itu bernilai jual, seperti kelapa, avokad, duku, atau rambutan. Beruntung pekarangan rumah ayah luas, sehingga kami tidak kesulitan menanam pohon kado itu.
Meski begitu, ayah pandang bulu juga dalam hal memberi hadiah tanaman itu. Sekiranya kami belum bisa menanam dan merawat pohon yang akan diberikan, jangan harap hadiah itu akan diberikan. Mereka yang sudah mampu saja akan dihadiahi tanaman.
Kebiasaan itu sangat menentukan, sebab ayah tidak turut campur dalam mengurus tanaman. Jadi, kamilah yang menanam, menyiram, memupuk, dan menyianginya. Ayah berharap, tanaman yang dia berikan menjadi bagian dari hidup kami. Di sinilah kami bersaing agar tanaman kado itu tumbuh subur dan cepat berbuah.
Sepeninggal ayah, tradisi itu masih kami lanjutkan. Hanya saja tidak pada ulang tahun kami, tapi pada hari-hari raya khusus atau pada saat silaturahim. Kalau masyarakat pada umumnya mengirim parsel berisi makanan dan minuman kaleng, kami saling memberi dan menerima “bingkisan tanaman”.
Tanaman yang kami bingkiskan tentu saja disesuaikan dengan tempat tinggal mereka. Misal, untuk saudara yang tinggal di Pati saya mengirim mangga untuk kunjungan pertama, pisang untuk kunjungan kedua, dan belimbing untuk kunjungan ketiga. Pokoknya, dibuat berbeda untuk setiap kunjungan.
Begitu juga jika mereka berkunjung ke tempat saya. Tanaman diantarkan sebagai bingkisan silaturahim bisa berwujud bibit duku, rambutan, atau kelapa. Ya, tanaman-tanaman seperti itulah yang cocok di daerah saya.
Walaupun halaman dan kebun di rumah kami sudah dipenuhi tanaman, sehingga tidak ada lagi lahan sejengkal pun untuk ditanami, tradisi warisan ayah tetap kami lakukan. Namun, yang kami berikan tidak lagi berupa tanaman keras yang membutuhkan lahan luas. Cukup berupa tanaman yang bisa ditanam di dalam pot. Misalnya, bibit bunga atau sayuran yang kebetulan belum mereka miliki.
Dari koleksi berbagai jenis tanaman itulah kami tidak kesulitan mencari buah jika sudah tiba musimnya. Begitu pula dengan kebutuhan sayur yang terkadang cukup diambil dari “kebun”. Sedangkan halaman kami tidak keras dan kaku berkat banyaknya tanaman hias dan bebungaan.
Apa yang dilakukan oleh ayah dan teman saya itu mungkin pantas ditiru. Setidaknya, ayah menanamkan rasa cinta pada alam dan lingkungan kepada kami. Begitu pula dengan teman saya. Ia tidak berharap, semua tanaman itu bisa tumbuh, sebab tidak semua orang yang diundangnya suka tanaman atau pekarangan di rumahnya bisa ditanami. Jika separuh saja undangan yang menanam tanaman bingkisan, itu sudah lebih dari lumayan. Begitu harapannya.
Mari kita hijaukan bumi dan lingkungan sekitar kita. Tak perlu menunggu proyek sejuta tanaman atau apa pun namanya. (Y. Sariyono – Intisari)