Penulis
Kerajaan Tidore disebut punya akar sejarah yang sama dengan Kerajaan Ternate. Meskipun begitu, hubungan keduanya tak selalu baik.
Intisari-Online.com -Pada dasarnya, Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate adalah "saudara"
Bagaimanapun juga, keduanya adalah bagian dari Moloku Kie Raha bersama Kerajaan Bacan dan Kerajaan Jailolo.
Moloku Kie Raha adalah sebutan untuk empat penguasa daerah di Maluku sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan.
Tak hanya itu, pendiri kerajaan Tidore disebut sebagai saudara pendiri Kerajaan Ternate.
Meski begitu, hubungan keduanya ternyata tak melulu akur.
Kerajaan Tidore merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam terbesar yang terletak di Maluku.
Seperti disebut di awal, kerajaan ini memiliki akar yang sama dengan Kerajaan Ternate.
Pasalnya, Syahjati atau Muhammad Naqil, yang mendirikan Kerajaan Tidore adalah saudara Mashur Malamo, pendiri Kerajaan Ternate.
Ketika didirikan pada abad ke-11, kerajaan ini belum bercorak Islam.
Agama Islam baru masuk dan berkembang pada akhir abad ke-15. Kerajaan Tidore kemudian mencapai masa keemasan pada sekitar abad ke-18, pada periode kekuasaan Sultan Nuku.
Di bawah kekuasaannya, Tidore berkembang pesat hingga disegani oleh bangsa Eropa.
Sejarah singkat berdirinya Kerajaan Tidore Sejak awal didirikan pada 1081 hingga masa pemerintahan raja keempat, agama dan letak pusat kekuasaan Kerajaan Tidore belum dapat dipastikan.
Barulah pada periode pemerintahan Kolano Balibunga, sumber sejarah Kerajaan Tidore mulai sedikit menguak lokasinya.
Pada 1495, diketahui bahwa kerajaan ini berpusat di Gam Tina dengan Sultan Ciriliati atau Sultan Djamaluddin sebagai rajanya.
Sultan Ciriliati, yang masuk Islam berkat dakwah seorang ulama dari Arab, diketahui sebagai raja atau kolano pertama yang memakai gelar sultan.
Dengan masuknya Islam ke Kerajaan Tidore, berbagai aspek kehidupan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budayanya pun ikut terpengaruh.
Sepeninggal Sultan Ciriliati, singgasana diwariskan ke Sultan Al Mansur (1512-1526 M), yang kemudian memindahkan ibu kota kerajaan ke Tidore Utara, lebih dekat dengan Kerajaan Ternate.
Kerajaan Tidore memang mengalami beberapa kali pemindahan pusat pemerintahan karena berbagai sebab.
Letak ibu kotanya yang terakhir adalah di Limau Timore, yang kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Ketika kekuasaan jatuh ke tangan Sultan Al Mansur, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara.
Pada 1521, Sultan Mansur menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate, yang lebih dulu bersekutu dengan Portugis.
Namun, Spanyol akhirnya mundur karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas.
Konflik tersebut berakhir pada 1529, setelah dilakukan Perjanjian Saragosa.
Akan tetapi, absennya Spanyol membuat Tidore menjadi incaran VOC.
Masa kejayaan Kerajaan Tidore Salah satu Raja Tidore yang terkenal dan berhasil membawa kerajaan menuju puncak kejayaan adalah Sultan Nuku (1797-1805 M).
Pada periode ini, wilayah kekuasaannya telah berkembang ke sebagian besar Pulau Halmahera, Pulau Buru, Pulau Seram, dan kawasan Papua bagian barat.
Kehidupan politik Kerajaan Tidore dapat dianggap mapan dengan struktur pemerintahan yang telah teratur.
Selain itu, Sultan Nuku dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda.
Selama bertahun-tahun, ia berusaha mengusir para penjajah dari seluruh Kepulauan Maluku.
Bahkan Sultan Nuku bahkan dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda.
Serangkaian perjuangan rakyat Maluku pun membuahkan hasil, ditandai dengan menyerahnya Belanda pada 21 Juni 1801 M.
Dengan begitu, wilayah Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing.
Di bawah kekuasaan Sultan Nuku, Kerajaan Tidore menjadi sangat besar dan disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh bangsa Eropa.
Setelah Sultan Nuku wafat pada 1805, Belanda kembali mengincar Tidore karena kekayaannya.
Keadaan tersebut didukung dengan kondisi di Kerajaan Tidore yang terus mengalami konflik internal.
Pada akhirnya, Kerajaan Tidore jatuh ke tangan Belanda dan kemudian bergabung dengan NKRI ketika Indonesia merdeka.