Penulis
Intisari-online.com - Prabu Siliwangi adalah salah satu tokoh legendaris dalam sejarah Nusantara, khususnya di wilayah Tatar Sunda.
Ia digambarkan sebagai raja agung Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu sebelum berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Ia dikenal sebagai raja yang sakti, cakap, gagah perkasa, adil, dan bijaksana yang berhasil membawa rakyat dan kerajaannya menuju era kejayaan dan kemakmuran.
Namun, siapakah sebenarnya Prabu Siliwangi? Apakah ia merupakan tokoh nyata atau hanya mitos belaka?
Bagaimana pula kisah kejayaan dan kemunduran Kerajaan Sunda yang pernah menguasai sebagian besar wilayah barat Pulau Jawa?
Tokoh Sejarah atau Mitologi?
Prabu Siliwangi adalah nama populer yang diberikan oleh tradisi lisan Sunda kepada raja agung Sunda tanpa memperhatikan era atau kurun waktu sejarahnya.
Sulit untuk memastikan dan mengidentifikasi siapakah tokoh sejarah yang dimaksudkan sebagai Prabu Siliwangi yang legendaris ini.
Akibatnya, kisah mengenai raja legendaris ini membentang dari era mitologi yang terkait kisah dewa-dewi Sunda kuno, hingga ke zaman kemudian saat datangnya ajaran Islam ke Tatar Sunda menjelang keruntuhan kerajaan Sunda Pajajaran.
Beberapa pihak telah mengajukan pendapat mengenai siapa tokoh sejarah nyata yang menginspirasi kisah Prabu Siliwangi ini.
Penafsiran paling populer mengaitkan Prabu Siliwangi dengan tokoh sejarah raja Sunda bernama Sri Baduga Maharaja yang disebutkan bertakhta di Pajajaran pada kurun 1482–1521.
Ia adalah raja pertama Kerajaan Pajajaran yang berkuasa antara 1482-1521.
Baca Juga: Ahli Beda Pendapat, Di Mana Letak Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya?
Di bawah kekuasannya, Kerajaan Pajajaran mengalami perkembangan pesat. Masa pemerintahannya juga dikenang rakyat sebagai zaman perdamaian dan kemakmuran.
Sementara ada pihak lain yang berpendapat bahwa legenda Prabu Siliwangi mungkin terinspirasi oleh tokoh sejarah raja Sunda sebelumnya yang bernama Niskala Wastu Kancana, yang disebutkan memerintah selama 104 tahun dari kurun 1371–1475.
Ia adalah raja yang berhasil mempersatukan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh menjadi satu kesatuan politik yang kuat dan stabil.
Etimologi
Sebuah teori kebahasaan menyebutkan bahwa nama Siliwangi berasal dari istilah dalam bahasa Sunda Silih Wangi, yang berarti pengganti atau penerus Raja Wangi.
Raja Wangi sendiri berarti seorang raja yang memiliki nama yang harum (wangi).
Menurut Kidung Sunda dan Carita Parahyangan, Raja Wangi diidentifikasi sebagai Maharaja Linggabuana, seorang raja Sunda yang gugur di Majapahit pada 1357 dalam peristiwa Perang Bubat.
Dikisahkan Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda.
Keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk.
Akan tetapi, Gajah Mada, mahapatih Majapahit, melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut takluknya kerajaan Sunda di bawah Majapahit.
Dia menuntut bahwa sang putri tidak akan dijadikan sebagai permaisuri Majapahit, melainkan hanya akan diperlakukan sebagai selir, sebagai tanda persembahan taklukknya kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan dari Majapahit.
Murka akibat penghinaan Gajah Mada ini, keluarga kerajaan Sunda berjuang belapati melawan balatentara Majapahit sampai mati demi membela kehormatan mereka.
Peristiwa ini menyebabkan kematian Raja Wangi dan putrinya, serta hampir seluruh anggota keluarga kerajaan Sunda.
Sejak saat itu, raja-raja Sunda yang menggantikannya diberi julukan Siliwangi, sebagai penghormatan kepada Raja Wangi yang gugur sebagai pahlawan.
Kejayaan Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara yang mengalami keruntuhan.
Wilayah kekuasaannya meliputi bagian barat dari pulau Jawa dan membentang dari Ujung Kulon hingga ke Ci Sarayu dan Ci Pamali.
Kerajaan Sunda juga mencakup sebagian wilayah selatan Pulau Sumatra melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung.
Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi III.
Ia berhasil mempersatukan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh menjadi satu kesatuan politik yang kuat dan stabil.
Ia juga memindahkan ibu kota kerajaannya dari Kawali di Ciamis ke Pakuan Pajajaran di Bogor.
Ia membangun istana yang megah dan indah di Pakuan, serta candi-candi Hindu dan Buddha di sekitarnya.
Kemudian ia juga memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Ci Pamali dan Ci Serayu di Jawa Tengah, serta menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan Asia Tenggara.
Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja yang sangat menghormati agama dan budaya Sunda.
Ia menganut agama Hindu dengan pengaruh Buddha, yang disebut sebagai Sunda Wiwitan.
Ia juga menciptakan karya sastra berbahasa Sunda Kuno, seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian, yang berisi ajaran moral dan etika bagi rakyatnya.
Ia juga mengembangkan seni pertunjukan, seperti wayang golek, tari topeng, dan gamelan degung.
Kemunduran dan Keruntuhan Kerajaan Sunda
Setelah kematian Prabu Siliwangi pada tahun 1521, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran akibat perselisihan internal dan ancaman eksternal.
Salah satu faktor penyebab kemunduran adalah adanya perpecahan antara kelompok yang tetap setia kepada agama Hindu-Buddha dengan kelompok yang mulai menerima pengaruh Islam.
Kelompok yang beragama Islam mendirikan kesultanan-kesultanan baru di pesisir utara Jawa Barat, seperti Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Faktor lain yang menyebabkan kemunduran adalah adanya serangan dari kerajaan-kerajaan tetangga yang ingin merebut wilayah atau sumber daya alam Kerajaan Sunda.
Salah satu serangan yang paling fatal adalah invasi Kesultanan Demak pada tahun 1527, yang berhasil merebut pelabuhan-pelabuhan penting di pesisir utara Jawa Barat, seperti Banten, Cirebon, dan Jayakarta (sekarang Jakarta).
Serangan ini menghancurkan jalur perdagangan Kerajaan Sunda dengan dunia luar dan melemahkan perekonomian kerajaannya.
Keruntuhan Kerajaan Sunda terjadi pada tahun 1579, ketika Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak melakukan serangan bersama terhadap ibu kota Pakuan Pajajaran.
Serangan ini berhasil menembus pertahanan kerajaan dan membakar istana raja.
Raja terakhir Kerajaan Sunda, Prabu Mulya atau Prabu Surawisesa, terpaksa melarikan diri.