Penulis
Intisari-Online.com—Seorang serdadu KNIL berpapasan dengan seorang ibu dan anaknya. Sang serdadu itu memberikan bingkisan penganan kepada mereka. Gambaran secuil denyut kehidupan kota di negeri jajahan Hindia Belanda sekitar 1930-an.
Hari itu warga memulai hari mereka dengan beragam kesibukan dari urusan kebersihan pekarangan rumah dan kebun sampai menjajakan dagangan di pasar. Di sudut kota yang lain, para serdadu Hindia Belanda berjaga di pos sembari mengamati perkembangan keamanan kota. 'Djaman Normaal' demikian julukan orang-orang setelah mereka tentang situasi zaman ini.
Namun, kedamaian Hindia Belanda terusik. Akhirnya, Perang Asia Timur Raya sampai juga ke negeri kepulauan itu. Bala Tentara Kekaisaran Jepang berbaris siap bertempur dan menyerbu kubu KNIL, yang tampaknya kewalahan dalam memberikan perlawanan balasan. Sementara itu rakyat tunggang-langgang untuk menghindar. Kuasa Hindia Belanda pun tamat riwayatnya.
Lepas dari penjajahan Belanda, bukan berarti sekonyong-konyong merdeka. Tentara Kekaisaran Jepang mengubah tatanan seketika. Mereka menghimpun kekuatan rakyat untuk pertahanan militer, sekaligus mengisap sumber daya melalui kerja paksa.
Adegan itu bagian dari pentas Romansa Negeri yang dihelat di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) pada 16 Agustus 2023. Mereka yang berperan dan mempersiapkan pentas ini adalah komunitas pegiat reka ulang sejarah Reenactor Bangor, yang dua tahun belakangan ini mengajak para siswa sekolah di Jabodetabek.
Reenactor Bangor dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi telah menggelar sosiodrama serupa sebanyak enam kali sejak 2017. Pada masa pandemi silam, mereka memproduksi sosiodrama dalam bentuk tayangan video di kanal Youtube milik museum itu.
Simak celoteh-celoteh para penggagas berdirinya Reenactor Bangor—Sufiyanto Adisoerjo, Dionisius Cahyo, dan Yosef Errol Tornado.
Sufiyanto Adisoerjo, sutradara dan penulis naskah, mengatakan, "Romansa Negeri sebagai simbol cinta terhadap bangsa, yang harus kita titipkan pada generasi baru negeri ini. Bagaimanapun bangsa ini telah melewati berbagai fase hingga meraih kemerdekaan dan estafet yang harus kita teruskan kepada Gen-Z untuk terus mengisi kemerdekaan dengan karya dan optimisme."
"Kita ada di titik ini, berbangsa dengan segala dinamikanya," Sufiyanto menambahkan. Pesan moral yang hendak dia sampaikan dalam sosiodrama ini adalah "tetap berkarya dalam gempuran teknologi dengan tetap menghargai jasa para pendahulu yang membuat kita tetap berdiri."
Pentas sosiodrama ini menampilkan adegan-adegan pertempuran. Adegan pertempuran pertama adalah ketika tentara Kekaisaran Jepang menyerbu kubu KNIL. Adegan pertempuran keduanya menampilkan perlawanan pejuang Republik terhadap tentara Sekutu, termasuk di dalamnya serdadu kerajaan Belanda dan KNIL.
Adegan pertempuran yang hidup dan menegangkan. Selain peranti dan ekspresi para pemerannya, kekalutan perang tercipta berkat warna-warni asap dan letupan mesiu dari petasan—yang digunakan dalam batas aman.
Kendati pertempuran adalah pemikat pentas ini, Sufiyanto mengungkapkan bahwa adegan tersulitnya bukan pada bagian itu. Adegan tersulit pentas ini adalah pada "scene kepiluan setelah perang terakhir di pertempuran Solo, banyak korban dari pihak Republik. Pesan ini perlu tersampaikan dengan baik kepada para penonton."
Adegan itu menampilkan pejuang-pejuang yang jatuh bergelimpangan dalam kabut asap mesiu, sementara kerabat mereka jatuh dalam kesedihan mendalam—sedu sedan usai pertempuran.
Sosiodrama, Living History, dan Historical Reenactment
Seorang pegiat Reenactor Bangor lainnya yang bertugas di balik layar adalah Dionisius Cahyo, Asisten Sutradara Romansa Negeri. Lelaki berewokan ini mencoba memaparkan tentang kegiatan yang kerap digelar komunitasnya.
"Living history adalah kegiatan yang menggabungkan peralatan, perlengkapan pakaian (impresi) ke dalam bentuk presentasi interaktif dalam upaya memberi rasa kembali ke masa lalu baik pada pelaku maupun penontonnya," ungkapnya.
Namun demikian, menurutnya kegiatan living history serupa tetapi tidak sama dengan historical reenactment. Kedua aktivitas itu memiliki persamaan dalam menjunjung tinggi keakuratan dan keautentikan dalam visualisasinya.
"Hanya saja," imbuhnya, "bila historical reenactment berarti kita memvisualkan kembali peristiwa sejarah yang nyata ada dan harus mengikuti skenario atau catatan sejarah yang ada, sedangkan living history kita bisa bebas melakukan interpretasi tidak harus mengikuti skenario kisah sejarah yang nyata ada."
Lalu bagaimana kedua kegiatan itu dibandingkan dengan sosiodrama?
"Sama kayak membadingkan ketoprak sama gado-gado," ujar Dion. Menurutnya, kegiatan tersebut memiliki kesamaan ingin bertutur tentang sejarah. "Perbedaan utamanya adalah," ungkap Dion, "sosiodrama menekankan pada pesan apa yang mau disampaikan sedangkan living history menekankan pada visualisasi—presentasi atau keakuratan visualisasi masa lalu."
Berawal dari kegiatan-kegiatan semacam itu, Dion mengungkapkan keinginannya mengajak audiens untuk kembali menekuri sejarah dalam kegiatan reka ulang.
"Cita cita idealnya sebenarnya saya ingin mengajak muda untuk mengenal sejarah bangsanya, agar lebih cinta pada bangsa dan negaranya. Seperti kata Bung Karno: 'Jangan sekali kali meninggalkan sejarah'." Kemudian dia melanjutkan, "Yuuuk, kenali dan cintai sejarah bangsamu supaya kalian tidak mudah diombang ambingkan."
Di Balik Para Pemeran Romansa Negeri
Yosef Errol Tornado, salah satu pemeran serdadu KNIL yang juga mempersiapkan para pemeran, mengatakan bahwa beberapa peran yang membutuhkan properti khusus dimainkan oleh para pegiat komunitas ini yang telah memilikinya untuk kegiatan reka ulang sejarah.
Sebagai contoh untuk pemeran serdadu KNIL 1930-an, setidaknya seorang pegiat reka ulang sejarah mengenakan seragam serdadu semasa lengkap dengan topi bambu, suspender, sepatu, klewang, dan senapan Manlicher.
Sementara itu untuk peran-peran pendukung, Errol memberi kesempatan kepada anak-anak sekolah. Dia menambahkan seorang pegiat Reenactor Bangor melakukan pendekatan ke sekolah-sekolah untuk mencari pemeran baru. "Selama ini pihak sekolah mendukung seratus persen kegiatan ini," ujarnya.
Bahkan, semenjak setahun silam, tokoh-tokoh penting dalam sejarah—seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo—diperankan oleh siswa sekolah. "Sudah tentu kita latih khusus agar bisa mendalami peran tersebut," kata Errol. "Semua pelatihan dan perlengkapan kita support."
Karena setiap tahun Reenactor Bangor selalu menyelenggarakan acara sosiodrama, maka mereka berinisiatif untuk memilikinya sendiri, seperti kostum dan peranti reka ulang sejarah. Salah satu upayanya adalah melakukan riset baik busana maupun senjata atau peranti lainnya supaya memenuhi prasyarat dalam kegiatan reka ulang sejarah.
Errol mengungkapkan bahwa sejauh ini Museum Perusmusan Naskah Proklamasi hanya mempercayai komunitas Reenactor Bangor, sehingga dia dan kawan-kawannya mulai menyiapkan bibit-bibit pengganti untuk meneruskan gelaran ini.
Komunitas Bangor merupakan forum cair bagi semua pemerhati dan pegiat reka ulang sejarah sejak 2016. Para penggagasnya dengan sadar tidak membuat struktur organisasi dan tidak membatasi domisili simpatisannya. Selama ini aktivitas dan diskusi mereka melalui WA Group dan akun Instagram @reenactorbangor.
"Meski komunitas Bangor [bersifat] tidak terikat, namun paling tidak setiap generasi muda yang mulai ikut terlibat di setiap pagelaran mulai merasa tertarik untuk makin mendalami kegiatan sosiodrama ini," pungkas Errol. "Sebab ini bagus dan menambah pengetahuan mengenai sejarah berdirinya negara kita."