Memalukan, Dua Ilmuwan Ternama Ini Mau Dibayar untuk Membantah Perubahan Iklim

Ade Sulaeman

Penulis

Memalukan, Dua Ilmuwan Ternama Ini Mau Dibayar untuk Membantah Perubahan Iklim

Intisari-Online.com - Pernah menyangkal perubahan iklim? Mungkin kamu merupakan salah satu korban pandangan ilmuwan-ilmuwan yang skeptis dengan isu tersebut.

Investigasi Greenpeace mengungkap adanya dua ilmuwan dari universitas ternama di Amerika Serikat yang bisa dibayar untuk mengonstruksi penyangkalan perubahan iklim.

Hasil investigasi ini menguak satu lagi tindakan kotor kalangan ilmuwan dalam isu perubahan iklim, yang dalam hal ini mereka justru menjadi pihak yang tidak konstruktif.

Sebelumnya, peneliti dari Harvard Smithsonian for Astrophysics yang juga penyangkal perubahan iklim terungkap menerima dana dari Exxon Mobile, American Petroleum Company, dan Souther Company sebanyak 1,25 juta dollar AS.

Berdasarkan pandangan Soon, perubahan iklim yang terjadi saat ini terjadi akibat perubahan aktivitas matahari, dan itu hal yang wajar.

Dua ilmuwan yang terungkap bisa menerima bayaran untuk menyangkal perubahan iklim kali ini adalah William Happer dari Princeton University dan Frank Clemente dari Pennsylvania State University.

Greenpeace menjebak dua ilmuwan itu dengan mengirim e-mail, meminta sang ilmuwan membuat publikasi untuk menyangkal perubahan iklim dengan bayaran tertentu.

Greenpeace menyamar sebagai sebuah perusahaan minyak dan gas ternama dari Timur Tengah serta perusahaan batu bara dari Indonesia.

Dalam e-mail, Greenpeace meminta Happer untuk menulis dampak negatif tentang negosiasi penanggulangan perubahan iklim di Paris.

Happer setuju dan meminta bayaran sebesar 250 dollar AS per jam dan total 8.000 dollar AS untuk menulis makalah selama 4 hari. Ia meminta bayarannya diberikan ke CO2 Coalition, semacam think tank untuk penyangkal perubahan iklim.

Happer dalam e-mail menuturkan, artikelnya mungkin tak akan masuk ke jurnal ilmiah berstandar tinggi, tetapi masih bisa mengakali dengan masuk jurnal yang pengajinya berafiliasi dengannya.

"Para puritan mungkin akan menganggap itu bukan peer review, tetapi saya pikir sah-sah saja disebut peer review," kata Happer seperti dikutip The Guardian, Kamis (10/12/2015).

Sementara itu, Greenpeace meminta Clemente untuk membantah hasil studi tentang dampak batubara yang mematikan di Indonesia. Clemente setuju dan meminta bayaran 15.000 dollar AS untuk makalah 10 halaman atau 6.000 dollar AS untuk artikel opini.

Menurut Clemente, tak masalah jika namanya dikutip sebagai profesor emeritus di Pennsylvania State University dan menutupi sumber dana dari makalah tersebut.

"Tak ada syarat untuk menuliskan pemberi dana Amerika Serikat. Riset dan artikel saya telah didukung oleh pemerintah, asosiasi pedagang, universitas, kalangan swasta, dan semua dipublikasikan atas nama saya sendiri," katanya.

"Saya sangat bangga dengan hasil riset saya dan percaya bahwa teknologi batubara bersih adalah jalan menuju energi yang murah dan terjangkau, mencukupi kekurangan energi, dan lingkungan bersih," imbuhnya.

Total, Greenpeace melobi 7 ilmuwan. Sebanyak 5 ilmuwan lain menolak dengan alasan waktu atau tidak menjawab e-mail sama sekali.

Greenpeace mengumumkan hasil investigasi pada minggu ini, di tengah berlangsungnya COP 21 di Paris, dan beberapa saat sebelum Happer tampil di forum.

Happer dalam e-mail-nya menegaskan bahwa CO2 memang bermanfaat. "Konferensi iklim di Paris mendasarkan pada premis bahwa CO2 adalah polutan. Itu salah total. Lebih banyak CO2 justru akan menguntungkan," ungkapnya.

(kompas.com)