Penulis
Intisari-online.com -Indonesia adalah negara yang kaya akan cerita rakyat dan legenda.
Salah satu legenda yang cukup terkenal di Sumatera, khususnya di bagian selatan, adalah legenda Si Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah adalah seorang pangeran yang memiliki kesaktian luar biasa, yaitu bisa mengubah apa saja menjadi batu dengan lidahnya yang pahit.
Namun, kesaktian itu juga membawa bencana bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Ada beberapa versi tentang asal-usul Si Pahit Lidah, tetapi yang paling umum diceritakan adalah versi yang menghubungkan kisahnya dengan nama Sumatera dan Nusantara.
Menurut versi ini, Si Pahit Lidah adalah putra dari seorang raja dari India yang bernama Maharaja Indrajaya.
Raja Indrajaya ingin menaklukkan Nusantara, yang saat itu masih disebut dengan Dwipantara, yaitu kumpulan pulau-pulau di Asia Tenggara.
Ia mengutus putranya, Si Pahit Lidah, untuk menjalankan misinya.
Si Pahit Lidah berangkat dengan membawa pasukan dan peralatan perang yang lengkap.
Ia mendarat di pulau pertama yang ia temui, yaitu pulau Sumatera.
Namun, begitu ia mencicipi makanan di sana, ia merasa sangat tidak enak. Ia mengira bahwa makanannya telah diracuni oleh penduduk setempat.
Baca Juga: Mengapa Dalam Peta Perlu Mencantumkan Komponen-komponen Peta?
Ia pun marah dan mengutuk semua makanan dan tanaman di pulau itu menjadi batu dengan lidahnya yang pahit.
Akibat kutukan Si Pahit Lidah, pulau itu menjadi tandus dan gersang. Penduduknya kelaparan dan menderita.
Mereka pun menyerang pasukan Si Pahit Lidah dan mengusirnya dari pulau itu.
Si Pahit Lidah pun meninggalkan pulau itu dengan kesal dan memberinya nama Suh-Matra, yang berarti tidak enak.
Si Pahit Lidah kemudian melanjutkan perjalanannya ke pulau-pulau lain di Dwipantara.
Namun, di mana-mana ia mendapat perlakuan yang sama.
Makanan dan tanaman di sana tidak cocok dengan lidahnya yang pahit. Ia pun mengutuk semuanya menjadi batu dan membuat penduduknya menderita.
Ia juga memberi nama-nama buruk untuk pulau-pulau itu, seperti Suh-Jawa, Suh-Bali, Suh-Lombok, dan seterusnya.
Akhirnya, Si Pahit Lidah sampai di pulau terakhir yang ia kunjungi, yaitu pulau Jawa. Di sana ia bertemu dengan seorang raja yang bijaksana dan ramah, yaitu Prabu Aji Saka.
Prabu Aji Saka menyambut Si Pahit Lidah dengan baik dan memberinya makanan yang lezat.
Si Pahit Lidah pun merasa senang dan puas.
Baca Juga: Bagaimana Oarfish Menjadi Objek Legenda dan Cerita Rakyat di Berbagai Negara, Khususnya Jepang
Namun, ternyata makanan yang diberikan oleh Prabu Aji Saka adalah makanan beracun yang bisa membunuh siapa saja yang memakannya.
Prabu Aji Saka sengaja melakukan hal itu untuk menghentikan kekejaman Si Pahit Lidah.
Ia tahu bahwa Si Pahit Lidah tidak akan merasakan racun itu karena lidahnya yang pahit.
Setelah makan, Prabu Aji Saka menantang Si Pahit Lidah untuk beradu kesaktian. Ia mengajaknya ke sebuah gunung berapi yang sedang meletus.
Ia berkata bahwa siapa pun yang bisa memadamkan api gunung berapi itu dengan lidahnya adalah pemenangnya.
Si Pahit Lidah pun menyanggupi tantangan itu. Ia percaya bahwa lidahnya yang pahit bisa mengalahkan api gunung berapi.
Ia pun mendekati gunung berapi itu dan menjulurkan lidahnya ke arah kawah.
Namun, apa yang terjadi? Begitu lidah Si Pahit Lidah menyentuh api gunung berapi, lidahnya langsung terbakar dan meleleh.
Si Pahit Lidah pun menjerit kesakitan dan jatuh terkulai. Ia pun meninggal di tempat.
Prabu Aji Saka pun bersyukur bahwa ia berhasil mengalahkan Si Pahit Lidah.
Ia kemudian menguburkan jenazah Si Pahit Lidah di bawah gunung berapi itu.
Baca Juga: Legenda Xu Fu, Utusan Kaisar China yang Memburu Ramuan Keabadian di Pulau Misterius
Ia juga memberi nama gunung berapi itu dengan Gunung Merapi, yang berarti gunung yang membakar.
Prabu Aji Saka juga mengubah nama-nama pulau-pulau yang telah dikutuk oleh Si Pahit Lidah.
Ia memberi nama-nama baru yang lebih baik dan indah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan seterusnya.
Juga memberi nama Dwipantara dengan Nusantara, yang berarti pulau-pulau yang indah.
Demikianlah kisah legenda Si Pahit Lidah, yang konon menjadi asal-usul nama Sumatera dan Nusantara.
Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak sombong, angkuh, dan kejam terhadap orang lain.
Kita juga harus bersyukur dengan apa yang kita miliki dan menghargai keanekaragaman budaya dan alam di Indonesia.