Penulis
Sultan Hamengkubuwono II tiga kali naik menjadi raja Kesultanan Mataram Yogyakarta. Di periode ketiga, dia punya tugas khusus melunakkan Pangeran Diponegoro.
Intisari-Online.com -Rasanya tidak ada raja Mataram Islam yang menjabat sebanyak Hamengkubuwono II.
Terhitung, dia tiga kali naik takhta menjadi raja Kesultanan Mataram Yogyakarta.
Sampai-sampai, dia mendapat julukan khusus, yaitu Sultan Sepuh.
Saat naik untuk ketigakalinya, Sultan Sepuh ternyata punya tugas khusus dari Belanda: melunakkan Pangeran Diponegoro.
Bagaimana riwayat HB II?
Sri Sultan Hamengku Buwono II lahir dengan nama Raden Mas Sundoro.
DIa adalah putra Hamengkubuwono I, raja pertama Keraton Mataram Yogyakarta, dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten.
GKR Kadipaten adalah permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sri Sultan Hamengku Buwono II lahir pada 7 Maret 1750 di lereng Gunung Sindoro.
Raden Mas Sundoro menghabisikan masa kecil di pengungsian ketika ayahnya berperang melawan VOC.
Situasi masa kecil tersebut pada akhirnya membentuk karakter yang keras pada diri RM Sundoro.
Pada1758, saat Raden Mas Sundoro disunat, dia diangkat sebagai Putra Mahkota.
Sejatinya HB I mengangkat Raden Mas Ento sebagai Putra Mahkota, tapi dia jatuh sakit dan meninggal dunia.
Saat dewasa, Sundoro hendak dinikahkan dengan putri Pakubuwono III, penguasa Kasunanan Surakarta.
HB I ternyata masih ingin menyatukan trah Mataram Islam yang pecah akibat Perjanjian Giyanti.
Tapi sayang, perjodohan itu gagal.
Pakubuwono III justru mengambil putra Adipati Mangkunegara I sebagai menantu.
Ketika itu, hubungan Kasunanan dan Kesultanan memang sedang renggang.
Salah satu pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut.
Jalan damai yang diupayakan melalui jalur pernikahan antara dua kerajaan tidak membuahkan hasil.
Hingga pada tanggal 26 April 1774, disusun perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh.
Perjanjian ini memberi batasan tegas pembagian wilayah sebagai upaya mencegah konflik terulang kembali.
Di sisi lain, RM Sundoro menyadari bahwa Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian Semarang telah membuat kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit.
Kedua perjanjian itu lebih menguntungkan VOC karena wilayah kekuasan VOC justru meluas.
Pada 1785, HB I membuat perayaan atas penetapan Raden Mas Sundoro sebagai calon pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.
Perayaan tersebut diselenggarakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk mengabadikan pergantian abad Tahun Jawa (1700) yang biasanya ditandai dengan peristiwa penting di bumi Jawa.
Dengan status sebagai calon pewaris sah, RM Sundoro mulai melakukan gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC.
Sundoro juga berupayamenggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg yang diinisiasi oleh Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765.
Caranya, dia mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan.
Tak lupa, untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda.
Sikap anti-Belanda ini semakin menjadi-jadi, ketika RM Sundoro dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792.
HB II dengan tegas menolak permintaan wakil VOC yang menuntut posisi duduknya disejajarkan dengan sultan di setiap acara pertemuan.
Selain itu, tanpa melibatkan VOC, HB II juga menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.
Pada 1799 VOC bangkrut dan dibubarkan, posisinya digantikan langsung oleh Kerajaan Belanda.
Menyusul kemudian, Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Prancis.
Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial.
Lalu pada14 Januari 1808, Herman Willem Daendels diutus menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis.
Dia menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.
Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda.
Oleh karena itu, dia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda.
Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.
HB IIdengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut.
Hingga suatu hari, Daendels datang ke Yogyakarta membawa 3.300 pasukan untuk menekan HB II.
HB II kemudian dipaksa turun takhta, dan posisinya diserahkan kepada putranya, Raden Mas Surojo, yang kemudian bergelar Hamengkubuwono III.
Karena sudah dibantu naik jadi raja Mataram, HB IIIdiharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan.
Namun, perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 itu tidak sempat dilaksanakan.
Sebab, Inggris datang dan memukul mundur Belanda.
Kesempatan ini dipergunakan HB II untuk merebut kembali takhtanya.
Saat itu, beliau menurunkan status Sri Sultan Hamengku Buwono III yang semula sempat menjadi Raja Yogyakarta, kembali ke posisi sebelumnya, yaitu Putra Mahkota.
HB II jugamengeksekusi Patih Danurejo II yang terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Sifat keras Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau dalam posisi sulit, terlebih saat harus berhadap-hadapan dengan bangsa asing.
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812.
Akibat gempuran tersebut, Keraton Yogyakarta diduduki Inggris.
Harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah.
Sri Sultan Hamengku Buwono Il ditangkap, kemudian diasingkan ke Pulau Pinang sampai tahun 1815.
Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama.
Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar.
Maka pada 10 Januari 1817, HB II dibuang ke Ambon.
Selama kurun waktu tersebut, Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu.
HB IIImeninggal dunia, kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian mendapat HB IV.
Belum lama bertakhta, HB IV meninggal dunia.
Ia kemudian digantikan oleh putranya yang masih sangat belia, HB V.
Pada masa HB V inilah meletus perlawanan Pangeran Diponegoro.
Untuk melunakkan hati Pangeran Diponegoro, Belanda memanggil kembali HB II yang kini sudah menjadi Sultan Sepuh.
Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta untuk yang ketiga kalinya
Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali diangkat menjadi Raja Yogyakarta, untuk yang ketiga kalinya, pada tanggal 20 September 1826.
Tapi sayang, tak lama kemudian, HB II meninggal dunia, tepatnua pada 3 Januari 1828.
HB II dimakamkan di Kotagede.