Penulis
Intisari-online.com -Piagam Jakarta adalah dokumen historis yang menjadi landasan negara Indonesia.
Piagam Jakarta berisikan rumusan Pancasila dan teks pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Piagam Jakarta disusun oleh Panitia Sembilan, yaitu sebuah panitia kecil yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk menyusun dasar negara Indonesia.
Peristiwa penyusunan Piagam Jakarta terjadi pada tanggal 22 Juni 1945 di rumah Soekarno, yang saat itu menjadi ketua BPUPK.
Anggota Panitia Sembilan yang terdiri dari tokoh-tokoh nasionalis dan Islam, seperti Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan A.A. Maramis, berdiskusi dan beradu pendapat untuk merumuskan dasar negara Indonesia.
Salah satu poin perdebatan yang paling panas adalah mengenai sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelompok Islam menghendaki agar sila pertama ditambahkan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang juga dikenal sebagai "tujuh kata".
Kelompok nasionalis merasa khawatir bahwa frasa tersebut akan menimbulkan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain di Indonesia.
Setelah melalui proses musyawarah dan mufakat, akhirnya Panitia Sembilan sepakat untuk memasukkan frasa "tujuh kata" ke dalam sila pertama Pancasila.
Piagam Jakarta pun disetujui oleh BPUPKI sebagai rancangan Pembukaan UUD 1945.
Namun, frasa "tujuh kata" tidak bertahan lama dalam Piagam Jakarta.
Baca Juga: 20 Ucapan Hari Hutan Hujan Sedunia 2023, Peristiwa Penting Bagi Bumi
Pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, frasa tersebut dihapus oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945.
Alasan penghapusan frasa "tujuh kata" adalah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi wakil ketua PPKI, menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika frasa tersebut tidak dihapus.
Hatta pun mengusulkan agar frasa tersebut dihilangkan demi kepentingan nasional.
Meskipun frasa "tujuh kata" tidak masuk ke dalam Pembukaan UUD 1945, Piagam Jakarta tetap dihormati sebagai dokumen historis yang menjiwai UUD 1945 dan Pancasila.
Presiden Soekarno dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan kembali ke UUD 1945) menyebutkan bahwa Piagam Jakarta "merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut".
Piagam Jakarta juga menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin bangsa dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan.
Peristiwa penyusunan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 merupakan salah satu momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Piagam Jakarta menunjukkan semangat perjuangan para pendiri bangsa untuk merumuskan dasar negara Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, kesejahteraan, dan ketuhanan.
Piagam Jakarta juga mencerminkan sikap toleransi, kompromi, dan kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus mengenang dan menghargai peristiwa penyusunan Piagam Jakarta.
Baca Juga: 30 Ucapan Ulang Tahun Jakarta 2023, Kenang Peristiwa 496 Tahun Silam
Kita harus menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam Jakarta sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Kita harus bersyukur dan bangga bahwa kita memiliki Piagam Jakarta sebagai salah satu warisan berharga dari para pendiri bangsa.