Penulis
Kebiasaan merokok di Mataram Islam disebut sudah zamak pada zaman Sultan Agung. Cerita Roro Mendut menjadi penegasnya.
Intisari-Online.com -Jika berbicara tentang industri rumah tangga rokok, rasanya tak elok jika tak menyinggung sosok Mas Ngabehi Irodiko.
Menurut beberapa catatan, mantri di Keraton Kasunanan Surakarta itu punya peran penting dalam perkembangan industri rokok di Kota Solo.
Mas Ngabehi Irodiko menemukan rokok Diko pada 1890.
Tapi jika berbicara tentang rokok di kalangan internal Mataram Islam, sepertinya jauh sebelum itu.
Kebiasaan merokok di kalangan Keraton Mataram Islam disebut sudah ada sejak era Sultan Agung, bahkan sejak Panembahan Senopati.
Paling tidak, begitu penjelasan buku Hikayat Kretek karya Onghokham dan Amen Budiman.
Buku itu, mengacu Babad Sangkala, juga menyebut bahwatembakau diperkirakan masuk ke Pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senapati pada 1601-1602.
"Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata sawiyose milaning wong ngaudud."
Yang artinya:"Waktu mendiang Panembahan meninggal di Gedong Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau setelah itu mulailah orang merokok."
Ada sumber juga yang menyebut bahwaSultan Agung dilayani 30 sampai 40 orang abdi perempuan.
Semuanya memegang sirih, tembakau dan lain-lain dalam cerana emas.
Masih dari sumber itu, Sultan Agung selalu merokok dan tidak seberapa makan sirih.
Dilansir Tribun Solo, menurut penururan de Haen, Sultan Agung merupakan seorang perokok berat.
Selama audiensi, Sultan Agung merokok menggunakan pipa berlapis perak.
Utusan lain menuturkan, dia pernah melihat Sultan Agung sedang memeriksa latihan peperangan, memandang ke depan dan sambil terus menerus merokok.
Dia didampingi pembantunya yang dengan segera mengacungkan upet (tali api-api) yang dibawanya begitu rokok Sri Baginda mati.
Seorang pendeta VOC, F. Valentjin dalam opusnya yang terkenal Oud En NiewOost-Indien jilid IV yang diterbitkan tahun 1726, mengatakan, dirinya melihat di Istana Mataram pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono I, sejumlah abdi dalem selalu berada di dekat Sri Baginda.
Masing-masing dengan tugas khusus di ataranya membawa sepotong buluh untuk alat merokok Sri Baginda.
Abdi lainnya membawa tempurung kelapa berplirit emas atau perak, tempat menaruh tembakau yang oleh duta VOC disebut boengkoezen yakni tembakau yang telah digulung menggunakan daun.
Jejak rokok dalam dinasti Mataram Islam juga terekam dalam cerita Roro Mendut di Serat Pranacita sebagaimana dituliskan ulang Onghokham dan Amen Budiman dalam buku Hikayat Kretek.
Dalam cerita Pranacitra itu, pada 1627, Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung berhasil menumpas pemberontakan Adipati Pati.
Banyak harta rampasan diperoleh termasuk wanita cantik.
Di antara wanita cantik itu bernama Rara Mendut.
Sultan Agung kemudian memberikan Rara Mendut pada seorang pejabatnya bernama Tumenggung Wiraguna.
Tumenggung Wiraguna yang sudah tua itu ingin memperistri Rara Mendut, namun Rara Mendut menolak.
Lantaran lamarannya ditolak, Wiraguna marah dan kemudian menjatuhi hukuman berupa kewajiban membayar pajak tiga real sehari.
Jika tidak sanggup, Wiraguna akan memaksa Rara Mendut menjadi istrinya.
Rara Mendut menerima hukuman itu namun ia meminta diizinkan membuka warung di Prawiramantren.
Rara Mendut bermaksud berjualan rokok panjang berikat benang sutra.
Disamping itu ia juga meminta modal sebesar tiga real kepada Nyi Ageng Wiraguna, istri Wiraguna.
Nyi Ageng Wiraguna terkejut karena merasa jumlahnya hanya sedikit.
Menurut perkiraanya, untuk keperluan berjualan rokok itu paling tidak dibutuhkan dua puluh lima real.
Nyai Ageng kemudian memberikan tembakau sompok dari Imogiri, daun klobot, bumbu-bumbu dan wur.
Adapun semua permintaan Rara Menduk kepada Wiraguna kemudian disampaikan Nyai Ageng kepada Wiraguna.
Wiraguna mengizinkan, hanya saja ia mengajukan syarat agar warung Rara Mendut harus ditabir dan jangan sampai kelihatan oleh orang yang lalu-lalang.
Hanya rokok yang dijualnya saja yang terlihat, sedang penjualnya tidak.
Wiraguna menyuruh istrinya memberi bekal sepuluh real.
Disamping itu, untuk keperluan pembuatan rokok itu, ia diminta menyuruh para abdinya yang memang sudah mahir dalam pembuatan rokok.
Biarlah mereka memberi bantuan agar pembuatan rokok yang akan dijual Rara Mendut bisa cepat selesai.
Rara Mendut sendiri dilarang membuatnya.
Mereka berhasil membuat tiga puluh bungkus rokok.
Semuanya diletakkan di dalam sebuah bokor besar terbuat dari perak yang diupam dengan kuningan, indah permai tampaknya.
Dalam menjual rokoknya itu, Rara Mendut berhias dengan sangat cantik.
Warung Rara mendut pun sesak dirubung pembeli.
Rara Mendut menjual rokoknya dengan harga setengah rupiah sebatang.
Harga yang relatif mahal dimasa itu.
Namun, hal yang aneh, harga puntungnya pun ternyata jauh lebih mahal yakni ada yang dua real sebatang, ada yang dua setengah real, ada yang tiga real dan empat real, tergantung panjang atau pendeknya.
Rara Mendut beralasan harga puntung lebih mahal karena puntung rokok itu bekas kena bibir Rara Mendut dan telah leceh dengan air ludah Rara Mendut yang manis dan harum.
Rokok Rara Mendut itu pun laris manis.
Cerita ini berlanjut pada percintaan pertemuan Rara Mendut dengan Pranacitra, anak lelaki janda Singabarong yang sangat tampan.
Di akhir cerita Wiraguna membunuh Pranacitra dan Rara Mendut ikut menubrukkan diri ke keris Wiraguna yang masih berdarah setelah membunuh Pranacitra.
Naskah Pranacitra di atas telah menyebut pemakaian bumbu-bumbu dan wur dalam pembuatan Rokok Roro Mendut.
Demikian juga dengan tembakau sompok dari Imogiri yang merupakan jenis tembakau ringan.
Sedang pembungkusnya dipakai wiru atau daun klobot.
Dengan demikian jelas di kalangan masyarakat Jawa rokok terutama klobot sebenarnya merupakan barang dagangan yang berusia lama, lebih dari tiga ratus tahun.
Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunan Surakarta, KP Winarno Koesoemo membenarkan perihal cerita Rara Mendut di serat Pranacitra.
Namun, sebagai generasi di keraton yang tinggal menerima cerita itu, Kanjeng Win mengaku kurang memahami apakah cerita itu benar-benar ada ataukah sekedar dongeng.
“Kita kan tinggal menerima (sejarahnya) saja,” ujarnya, dilansir Tribun Solo.