Karyawan yang Selalu Bahagia Justru Bukan Pertanda Baik

Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi

Penulis

Grid Networks Karyawan yang Selalu Bahagia Justru Bukan Pertanda Baik
Karyawan yang Selalu Bahagia Justru Bukan Pertanda Baik

Intisari-Online.com - Memastikan karyawan Anda senang sepanjang waktu mungkin bukan strategi terbaik. Menurut studi terbaru yang dikutip CNBC dari University of Liverpool menemukan bahwakaryawan yang selalu bahagia justru bukan pertanda baik bagi perusahaan.(Baca juga:5 Rahasia Menjadi Karyawan Bahagia)Emosi positif di tempat kerja akan menghasilkan hasil yang positif dan emosi negatif sebaliknya. Itulah asumsi umum yang berkembang di masyarakat. Namun, para peneliti justru menemukan bahwa emosi negatif dapat berdampak baik, terutama marah. Studi ini menegaskan bahwa kemarahan tidak selalu membawa hasil negatif. Justru marah dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menjadi lebih baik.Peneliti mengatakan dalam beberapa kasus, kemarahan dapat memicu hasil baik ketika disebabkan oleh pelanggaran atau kesalahan. Sebagai contoh, karyawan bisa mengekspresikan kemarahan saat manager memperlakukan sesama karyawan dengan tidak adil. Karyawan yang selalu bahagia justru bukan pertanda baik karena bisa saja dia tidak pernah mengekspresikan kemarahannya.(Baca juga:Karyawan Bahagia, Bos Tidak)Penelitian juga menemukan bahwa dalam sebuah tim, emosi negatif memiliki efek yang baik dengan mengurangi konsensus di antara anggota tim. Hal ini dapat menyebabkan diskusi yang lebih besar di antara para pekerja sehingga efektivitas kerja meningkat.Selain membuktikan bahwa emosi negatif dapat bermanfaat di tempat kerja, penelitian juga menunjukkan bahwa terlalu positif kadang datang dengan sisi negatifnya. Pasalnya, emosi positif memiliki potensi untuk menyebabkan kepuasan dan kedangkalan, bukannya peningkatan kesejahteraan dan produtivitas yang lebih besar. Inilah mengapa karyawan yang selalu bahagia justru bukan pertanda baik."Emosi positif tidak selalu terkait dengan hasil positif," tulis penulis studi ini, Dirk Lindebaum dari University of Liverpool, dan Peter Jordan, seorang profesor di Griffith University di Australia. Baru-baru ini, hasil penelitian diterbitkan dalam jurnal Human Relations.