Penulis
Intisari-online.com - Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Namun, ada beberapa kondisi yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa atau menunda puasanya, seperti sakit, musafir, haidh, nifas, hamil dan menyusui.
Bagi ibu hamil dan menyusui, puasa Ramadhan bisa menjadi tantangan tersendiri karena mereka harus mempertimbangkan kesehatan diri sendiri dan bayinya. Apalagi jika mereka mengalami kekurangan gizi, dehidrasi atau komplikasi kehamilan.
Lalu bagaimana hukum puasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui menurut empat mazhab dalam Islam yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali? Apakah mereka boleh tidak berpuasa atau harus mengganti puasanya? Berikut penjelasannya:
1. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah (80-150 H), ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri sendiri atau bayinya. Mereka harus mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan selesai. Selain itu, mereka juga harus membayar fidyah sebesar satu mud (sekitar 750 gram) beras atau makanan pokok lainnya untuk setiap hari yang ditinggalkan kepada orang miskin.
Baca Juga: Inilah 4 Adab dan Tradisi Ziarah Kubur Sebelum Puasa Ramadhan
2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (93-179 H), ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri sendiri atau bayinya. Mereka hanya perlu mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan selesai tanpa harus membayar fidyah.
3. Mazhab Syafi'i
Menurut mazhab Syafi'i yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri sendiri atau bayinya. Mereka harus mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan selesai. Jika mereka tidak bisa mengganti puasanya karena alasan tertentu seperti terus hamil atau menyusui selama beberapa tahun berturut-turut maka mereka harus membayar fidyah sebesar satu mud beras atau makanan pokok lainnya untuk setiap hari yang ditinggalkan kepada orang miskin.
4. Mazhab Hanbali
Menurut mazhab Hanbali yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir akan kesehatan diri sendiri atau bayinya. Mereka harus mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan selesai. Jika mereka tidak bisa mengganti puasanya karena alasan tertentu seperti terus hamil atau menyusui selama beberapa tahun berturut-turut maka ada dua pendapat dalam mazhab ini:
Pendapat pertama: Mereka harus membayar fidyah sebesar satu mud beras atau makanan pokok lainnya untuk setiap hari yang ditinggalkan kepada orang miskin.
Pendapat kedua: Mereka cukup bertaubat kepada Allah SWT tanpa harus membayar fidyah.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hukum puasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui menurut empat mazhab dalam Islam yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalil dan ijtihad para ulama dalam menetapkan hukum puasa bagi ibu hamil dan menyusui. Namun, semua mazhab sepakat bahwa ibu hamil dan menyusui harus mempertimbangkan kesehatan diri sendiri dan bayinya sebelum memutuskan untuk berpuasa atau tidak.
Oleh karena itu, ibu hamil dan menyusui sebaiknya berkonsultasi dengan dokter ahli gizi dan agama untuk mengetahui kondisi kesehatan mereka dan apakah mereka mampu berpuasa atau tidak.
Jika mereka mampu berpuasa maka mereka harus menjaga asupan gizi dan cairan yang cukup saat sahur dan berbuka. Jika mereka tidak mampu berpuasa maka mereka harus mengikuti hukum puasa menurut mazhab yang mereka anut.
Baca Juga: Awas, Setelah Sahur Jangan Langsung Tidur!