Find Us On Social Media :

Mengapa Orang Cenderung Menolak Barang yang Murah: Dianggap Tidak Memiliki Nilai

By Arnaldi Nasrum, Selasa, 8 Desember 2015 | 11:00 WIB

Mengapa Orang Cenderung Menolak Barang yang Murah: Dianggap Tidak Memiliki Nilai

Intisari-Online.com - Ketika berbelanja, seseorang tentu akan dihadapkan pada barang-barang dengan harga yang selangit dan juga yang lebih murah. Tapi tentu saja yang menjadi fokus perhatian adalah barang dengan kualitas yang baik. Namun, tidak sedikit orang yang berasumsi bahwa barang dengan kualitas yang baik memiliki harga yang selangit. Makanya, orang cenderung menolak barang yang murah.

The School of Life, lembaga pengembangan inteligensi emosional, mengungkap alasan mengapa banyak orang membenci barang-barang yang murah.

Barang yang murah sering kali dianggap memiliki nilai yang rendah. Bahkan tidak memiliki nilai sama sekali. The School of Life mengungkapkan, di kebanyakan negara, hal ini telah berkembang dan membuat banyak orang mengasosiasikan hal tersebut. Menurutnya, ketika kita mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli sebuah barang, maka kita akan lebih menghargainya.

“Ketika kita membeli barang dengan harga yang tinggi, maka kita akan benar-benar menghargai barang tersebut. Namun ketika harganya di pasar jatuh, maka nilainya pun akan memudar,” jelas The School of Life.

Sebenarnya, hal ini harus dihindari. Jika kita memiliki persepsi demikian, maka kita akan kehilangan apresiasi terhadap barang-barang yang memiliki harga yang murah namun mempunyai nilai dan kualitas yang baik.

The School of Life mencontohkan, ketika Christopher Columbus membawa nanas ke Eropa ketika hendak kembali dari Amerika. Pada saat itu, nanas termasuk buah yang sangat mahal karena pertumbuhannya yang sulit dan ongkos distribusinya yang juga besar. Hanya kaum bangsawan yang dapat membelinya.

Hari ini, nanas termasuk buah yang dapat dengan mudah ditemukan dan harganya pun murah. Ini berkaitan dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses. “Sebenarnya, nanasnya tidak berubah, tapi sikap kitalah yang berubah,” jelas The School of Life.