Penulis
Intisari-Online.com – Yang namanya mitos , ya pasti bukan fakta. Namun nyatanya, mitos tentang seks justru lebih banyak beredar di masyarakat ketimbang fakta. Apalagi, bila pasangan tak dibekali dengan pengetahuan seks yang cukup. Mitos pun tetap dipercaya turun temurun. Berikut ini adalah mitos-mitos seputar hubungan seksual yang pernah dimuat dalam Intisari edisi Extra Health tahun 2015, dengan judul asli tulisan Mitos-mitos yang Bergentayangan di Sisi Ranjang, dan ditulis oleh Ari F. Lukmawan.
--
Sejak zaman “Siti Nurbaya”, orang Indonesia percaya bahwa malam pertama adalah pembuktian terhadap status seorang perempuan. Status apakah ia masih perawan atau tidak. Melalui apa? Ya, tentu saja melalui noda darah pada sprei ranjang yangidigunakannya. Kepercayaan tersebut hingga sekarang masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Bahkan, hingga saat ini sebagian orangtua sengaja memasangkan sprei berwarna putih pada tempat tidur anak perempuannya saat malam pertama. Seperti yang diceritakan Zoya Amirin, M.Psi, seksolog, sprei tersebut harus bernoda, untuk membuktikan bahwa anak perempuannya masih perawan saat menikah. “Malah ada yang memamerkan noda pada sprei itu ke orang-orang,” ungkap Zoya.
Darah perawan
Nyatanya, kepercayaan turun temurun itu adalah mitos belaka. Menurut Zoya, perempuan yang sudah pernah melahirkan sekalipun, bisa saja mengeluarkan darah dari vaginanya saat berhubungan seks dengan suami. Penyebabnya bukan berarti secara tiba-tiba ia berubah menjadi perawan kembali. “Tapi pada dasarnya saat perempuan merasa terangsang, maka vaginanya akan terlubrikasi dengan baik. Bila tidak, dari situlah noda darah berasal,” papar Zoya.
Baca juga : 10 Mitos Seks Ini Sebaiknya Jangan Dipercayai Lagi oleh Wanita
Sehingga, faktor kesiapan dari pihak perempuanlah yang menjadi penyebab vagina bisa berdarah. Bukan semata-mata menunjukkan ia masih perawan atau tidak. Lubrikasi yang tidak baik akan menimbulkan iritasi akibat gesekan penis pada dinding vagina. Dari sinilah darah muncul saat berlangsungnya hubungan seks. Jadi, hadirnya darah bukanlah pertanda perempuan masih perawan atau tidak.
Perlu dipahami, apa yang sebenarnya terjadi pada proses penetrasi saat hubungan seks berlangsung. Ketika seorang perempuan memperoleh rangsangan seksual dari luar, maka vaginanya akan terlubrikasi. Lubrikasi yang dimaksud adalah cairan alami tubuh yang muncul di dalam vagina.
Cairan ini berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan luka lecet (berakibat munculnya darah) saat gesekan dengan penis terjadi. Nah, kalau soal berdarah atau tidak saat pertama kali berhubungan seks, kaitannya adalah dengan selaput dara. Patut diketahui, selaput dara itu ada yang tebal dan tipis, ada yang elastis dan tidak. Selaput dara tipis rentan robek. Terkadang, bukan hanya hubungan seks saja yang dapat membuat selaput tipis robek.
Kegiatan tertentu seperti senam, bela diri, atau olahraga ekstrem lain bisa membuat selaput daranya robek. Bila perempuan pemilik selaput dara tipis sekaligus punya hobi ekstrem, ada kemungkinan selaput daranya pernah robek saat melakoni hobinya tersebut. Jika kondisinya demikian, sebaiknya dibarengi dengan komunikasi antara kedua belah pihak sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. “Mitos darah perawan ini masih nomer satu yang banyak dipercaya masyarakat,” tutur Zoya.
Sementara itu, bagi perempuan yang memiliki selaput dara tebal dan elastis, tak akan mudah robek saat pertama kali berhubungan seks. Apalagi bila penis tidak mengenai bagian selaput yang mengandung pembuluh darah. Jadi, bukankah terlalu dangkal mengukur keperawanan seorang perempuan dari darah yang keluar saat hubungan seks pertama kali? Lagi pula, berbagai penelitian menyebutkan, sebanyak 35% perempuan tidak mengeluarkan darah saat bersenggama untuk pertama kalinya.
Pengertian keperawanan sendiri di masyarakat masih absurd. Ada yang bilang bila selaput daranya masih utuh, maka ia masih perawan. Padahal, status perawan harusnya disandang pada perempuan yang memang belum pernah melakukan hubungan seks sama sekali. Jadi ,utuh atau tidaknya selaput dara, seharusnya tidak lantas membuat si perempuan dihakimi dengan status keperawanan tersebut.
Penggunaan sex toys
Banyak orang juga percaya bahwa penggunaan sex toys oleh perempuan dapat menimbulkan ketergantungan dan tergolong tabu. “Mereka percaya jika perempuan sudah menggunakan sex toys, jadi ketergantungan terhadap sex toys ketimbang berhubungan seks dengan laki-laki,” ujar Zoya.
Akibatnya, banyak laki-laki yang merasa terintimidasi dengan mitos penggunaan sex toys oleh perempuan. Diakui Zoya, mitos ini benar-benar salah. Kendati pihak perempuan bisa memperoleh orgasme karena penggunaan sex toys, tetap saja membutuhkan hubungan badan dengan laki-laki.
Zoya menekankan sex toys itu hanyalah alat, tidak bernyawa, dan tak mampu menggantikan sosok manusianya itu sendiri. Menurut Zoya pula, berhubungan seks tak melulu soal orgasme. Inilah yang menjadi kesalahan pada laki-laki yang terkadang selalu berorientasi pada penisnya saja. “Hubungan seks yang berkualitas itu ada pada hubungan antara laki-laki dan perempuan itu sendiri,” kata Zoya.
Sebenarnya, ada solusi yang bisa diambil oleh laki-laki untuk membuat pasangannya merasa puas tanpa harus bergantung dengan penggunaan sex toys. “Mereka cukup belajar bagaimana cara yang tepat memuaskan pasangannya,” ujar Zoya singkat.
Masih menurut Zoya, tiap perempuan punya passion dan ritme hubungan seks yang berbeda-beda. Jadi, sudah seharusnyalah laki-laki mempelajari sekaligus mengeksplorasi keinginan dari pasangannya demi mencapai kepuasan bersama. Misalnya, dengan menambah waktu foreplay melalui tambahan rangsangan di bagian klitoris atau titik lainnya.
Bisa juga dengan mencari tahu titik-titik rangsangan pada pasangan. Minimal yang bisa dilakukan laki-laki adalah dengan bertanya kepada pasangan, bagaimana cara memuaskannya. Begitu pula sebaliknya, dengan pihak perempuan yang juga bertanya apa yang diinginkan laki-laki.
Semakin besar penis, semakin memuaskan
Beda halnya dengan perempuan yang punya body concern (kekhawatiran terhadap kesempurnaan tubuhnya dalam konteks hubungan seks), laki-laki justru punya penis concern. Sebagian besar laki-laki menganggap dengan penis yang besar, maka perempuan akan tertarik dan terpuaskan. Tentunya, anggapan itu salah besar.
Selama penis masih berukuran normal (berdiameter antara 49 mm – 56 mm), sebenarnya sudah bisa menjangkau G-spot yang tidak terlalu dalam. Yang harusnya menjadi fokus bagi laki-laki bukanlah besar atau panjangnya ukuran penis, melainkan bagaimana cara untuk membuat perempuan nyaman dan puas. “Buatlah manuver-manuver hubungan seks yang mengakomodasi kepuasan laki-laki dan perempuan,” ujar Zoya.
Diakui Zoya, masih banyak kaum Adam yang menganggap ukuran penis berpengaruh terhadap kesuksesan dalam hubungan seks. Itulah kenapa pengobatan ala Mak Erot laku didatangi pelanggan laki-laki yang ingin memperbesar penis.
Bahkan, selepas Mak Erot tiada pun, pengobatan dari anak cucunya masih tetap diminati. “Kita juga sebenarnya belum tahu pasti kebenaran pengobatan pembesaran penis itu, kalau pun memang gagal, apa ada laki-laki yang mau bercerita pernah ke Mak Erot tapi ternyata gagal? Pasti tidak mau, karena malu,” jelas Zoya.
- bersambung -